makalah: di sajikan oleh ACHMAD GHAZALI S.HI
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dewasa ini
guru agama, bukan hanya berperan sebagai pengajar dalam arti yang sempit (transfer
of knowledge), tetapi juga sebagai pendidik (transfer of values).
Di samping itu, ia harus juga memainkan peranan sebagai pemimpin,
pengelola, pembimbing dan fasilitator guna memudahkan proses pembelajaran
pendidikan agama, atau diistilahkan sebagai leader of learning,
director of learning, manager of learning, dan sekaligus facilitator
of learning. Dengan peranan tersebut, guru agama diharapkan mampu
membangkitkan sikap religius peserta didik. Peserta didik diharapkan mampu
merespon perubahan jaman yang terjadi, tetapi tidak terbawa arus perubahan
dunia yang semakin global.
Namun
dalam kenyataannya, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama di sekolah
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guru agama belum mampu membentuk
kepribadian peserta didik secara utuh.
Hal ini
terbukti dengan masih banyaknya kasus kenakalan peserta didik dalam berbagai
bentuknya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Meskipun kenakalan remaja tidak
semata-mata disebabkan oleh pendidikan agama yang gagal, tetapi sering kali
guru agama menjadi “tumpuan harapan” terbentuknya akhlakul karimah, sehingga
apabila terjadi kenakalan peserta didik, guru agama sering menjadi sasaran.
Persepsi ini tidak selamanya benar, dan juga tidak semuanya salah. Karena guru
agama dianggap sebagai “penjaga moral” di lingkungan sekolah, sehingga baik
buruknya akhlak siswa sering dialamatkan kepada guru agama.
Dalam
perspektif pembelajaran menunjukan bahwa, guru agama dalam membelajarkan agama
selama ini masih dianggap kurang berhasil dan belum memenuhi logika zamannya.
Karena pembelajaran agama yang dilakukan secara indoktrinatif-normatif,
sehingga tidak mampu menyenternalisasikan nilai-nilai agama kepada peserta
didik dan akibatnya peserta didik tidak mampu menjadikan agama sebagai pedoman
hidup sehari-hari.
Disamping
itu kegagalan pembelajaran agama adalah karena lebih menekankan pada aspek
ibadah dan syariah sementara pembelajaran akhlak kurang mendapat perhatian.
Akibatnya peserta didik punya semangat beribadah dan mengerti tentang
hukum-hukum agama, tetapi perilakunya banyak menyimpang. Pembelajaran agama
sering dipersepsi oleh peserta didik sebagai ilmu yang tidak mempunyai nilai
praktis-problematis dalam kehidupan, sehingga “diperlakukan” sama dengan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, paradigma pendidikan agama harus diletakkan dalam
kerangka fungsional-kontekstual yang mampu menyentuh aspek-aspek riil peserta
didik dengan meninggalkan model tekstual-normatif. Dengan ini diharapkan agar
peserta didik mampu menghadapi dunia dengan terbuka, tanpa harus tergoda oleh
gemerlapnya dunia yang menyesatkan. Untuk mencapai cita-cita ini, maka guru
agama harus mampu menjadikan pendidikan agama fungsional dalam kehidupan dan
bersemayam dalam nurani peserta didik.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas
pada makalah ini adalah:
1) Pengertian
perubahan sosial
2) Macam-macam
konsep perubahan sosial
3) Guru
agama dan peran pembelajaran
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk
mengetahui:
1) Pengertian
perubahan sosial
2) Macam-macam
konsep perubahan sosial
3) Guru
agama dan peran pembelajaran
ISI DAN PEMBAHASAN
1. Pengertian perubahan sosial
Setiap inovasi merupakan pemanfaatan
unsur-unsur budaya yang tidak dapat dipungkiri dan pelanggaran terhadap
aspek-aspek status quo budaya. Sejarah mencatat bahwa yang diinginkan bukan
sekedar perubhan tetapi lebih pada stabilitas. Masyarakat berusaha memelihara
kontinyuitas kehidupan sosial, baik dalam keadaan stabil maupun dalam proses
perubahan sosial.
Perubahan sosial adalah perubahan untuk mencapai ketentraman sosial yang stabil. Stabilitas tidak hanya pada kondisi sosial yang ideal, tetapi juga pada kodisi normal. Menurut Zaltman dan Duncan menyimpulkan bahwa perubahan sosial adalah pembelajaran kembali individu atau kelompok sebagai reaksi terhadap adanya tuntutan aktivitas dalam situasi yang baru, yang menghasilkan perubahan baik, dalam bentuk dan atau fungsi sistem sosial.
Perubahan sosial adalah perubahan untuk mencapai ketentraman sosial yang stabil. Stabilitas tidak hanya pada kondisi sosial yang ideal, tetapi juga pada kodisi normal. Menurut Zaltman dan Duncan menyimpulkan bahwa perubahan sosial adalah pembelajaran kembali individu atau kelompok sebagai reaksi terhadap adanya tuntutan aktivitas dalam situasi yang baru, yang menghasilkan perubahan baik, dalam bentuk dan atau fungsi sistem sosial.
Sistem pendidikan yang maju, sikap
menghargai pendapat/karya milik orang lain, orientasi masa depan, penduduk yang
heterogen, serta sistem pelapisan masyarakat yang terbuka. Hal-hal tersebut
merupakan faktor pendorong dalam perubahan sosial. Dalam pembahasan ini yang
sangat mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dewasa ini
adalah orientasi kehidupan ke masa depan sehingga memajukan sistem pendidikan
agar dapat mencetak penemuan-penemuan baru yang akhirnya mampu menggeser
tatanan yang berlaku di masyarakat.
(Mbulu,
2005)
2. Macam-macam konsep perubahan sosial
Konsep
Kemajuan Sosial
Reformasi
pada abad ke 16 menghasilakan perubahan di bidang religi dan organisasi yang
menimbulkan banyak perubhan. Condorent memberikan gambaran bahwa masyarakat
dapat meningkatkan hubungan sosial dan mengembangkan teknologi, walaupun pihak
kerajaan berusaha menentangnya. Dia berpendapat bahwa pada abad ke 18 perubhan
memang diinginkan, sedangkan pada abad 19 perubhan selain diinginkan juga tidak
teratur. Hal ini merupkan hasil pemikiran intelektulisme Perancis dan Inggris.
Pada abad 18 Condorent memberikan gambaran bahwa masyarakat dapat meningkatkan
interaksi sosial seperti mengembangkan teknologi. Sedangkan p[ada abad ke 19
perubahan berdasarkan asumsi yang dikemukakan oleh Saint Simon dengan gagasan
sosialis dan mengalami modifikasi dan diterjemahkan dengan tindakan setelah
revolusi Rusia.
Gagasan
kemajuan sosial, menimbulkan keretakan yang tajam dengan pemikiran sosialis
yang banyk dianut pada pertengahan abad ke 19 yang dikenal sebgai inovasi
ideologi. Hal tersebut terkait dengan gagasan tradisional yang dipropagandakan
pihak gereja bahwa kehidupan di dunia adalah penderitaan setelah menerima hukuman
Tuhan diturunkan dari surga. Sedangkan gagasan kemajuan sosial berbeda bahwa
kehidupan manusia ditemukn oleh manusia sendiri. Manusia membentuk masyarakat
dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Gagasan kemajuan menyangkut
banyak aspek, seperti rencana politik dan kehidupan yang lebih baik.
a. Evolusionisme
Gagasan
memungkinkan masyarakat untuk berkembang melalui upaya yang hati-hati dalam
satu bentuk atau yang lain dan mencakup berbgi segmen masyarakat seperti yang
kita temukan saat ini. Hal ini merupakan basis ideoloi pada berbagai upaya
reformasi sosial, hukum dan lainnya. Comte sebagai “bapak” sosiologi melengkapi
konsep kemajuan sosial bahwa setiap masyarakat harus berkembang dari tahap
teologi sampai tahap ilmiah. Pada tahap akhir, yakni tahap ilmih, kontrol
rasional pada manusia menjadi mungkin. Masyarakat barat setelah mengenal
sosiologi dapat mencapai tingkat pemikiran ilmiah, sehingga dapat menyusun
sistem pengembangan kehidupan sosial. Banyak teori evolusi sosial yang sangat
berlawanan telah dikembangkan yang masing-masing memberi dasar pemikiran yang
memuaskan mengenai perubhan yang menarik bagi pencetus teorinya.
b. Neo Evolusionisme
Ide
tentang perubahan sosial sebagai sesuatu yang normal dan tidak dapat dielakkan
perubahan dari buruk ke baik dan dari baik ke lebih baik merupakan warisan
intelektual yang tak dapat dihilangkan oleh ahli sosiologi modern. Lester F.
Ward memadukan positivisme Comte dengan Darwinisme dan kepercayaan tradisional
Amerika pada keuntungan sosial pendidikan sekolah luar negeri untuk
menghasilkan konsep kemajun sosial. Ward percya bahwa aplikasi ilmu pengetahuan
terjadi melalui tingkah laku yang rasional pada anggota masyarakat, sehingga
dia dianggap sebagai bapak teori pendidikan. Ward adalah satu-satunya ahli
sosiologi Amerika yang terkenal membuat konsep evolusioner sebagai perhatian
utamanya. Perubahan sosial di Inggris diberi sentuhan para ilmuan sosial pada
abad ke 20 dengan tokoh-tokohnya Graham Wallas, Leonard Hobhouse dan Morris
Ginsburg. Mereka percaya bahwa perubahan sosial tidak dpat terelakkan dan
mereka berpendapat bahwa arah perubahan sosial adalah bentuk organisasi yang
sederhana sangat berbeda, tetapi pda saat yang sama sangat terpadu yang menjadi
karakteristik masyarakat modern.
Konsep Sosialistik Mengenai Perubahan
Evolusionisme
cenderung mendominasi pikiran sosial abad 19 sampai abad ini; tetapi hal
trsebut sering kali digabungkan dengan konsep kemajuan melalui tindakan sosial
yang rasional untuk membenarkan suatu bentuk program reformasi.
a. Anarkisme
Para reformer dan pemikir Perancis
mengembangkan ide bahwa penghalang kemajuan sosial adalah pemerintah. Kemajuan
hanya dapat terjadi apabila pemerintah dihilangkan; akibat yang ditimbulkan
adalah anarki. Tujuan mereka adalah pencapaian masyarakat utopia.
b. Marxisme
Karl Mark berada secara langsung dalam tradisi evolusioner. Dia menganggap pemerintah yang mengendalikan kaum kapitalis. Bagi Marx, perubahan sosial hanyalah sarana untuk mencapai stabilitas sosial pada tingkat utopia.
Karl Mark berada secara langsung dalam tradisi evolusioner. Dia menganggap pemerintah yang mengendalikan kaum kapitalis. Bagi Marx, perubahan sosial hanyalah sarana untuk mencapai stabilitas sosial pada tingkat utopia.
c. Sosialisme fabian
Teori
sosialis Fabian paling dekat dengan teori Marxisme. Mereka berpendapat bahwa
transisi dari kapitalisme ke sosialisme dilakukan secara bertahap dan
sepotong-potong.
d. Reformisme Moralistik
Penganut
reformasi ini memiliki keyakinan pada kekuatan kelompok minoritas yang
terorganisasikan untuk melakukan perubahan sosial. Mereka juga memiliki dasar
moral yang membenarkan pergerakan tersebut. Pergerakan ini berpusat di greja,
tetapi tetap berada di luar arena perselisihan sosial yang terorganisasikan.
Pergerakan ini jarang terpikirkan hasilnya dan bahkan menimbulkan masalah yang
lebih besar dari yang mereka pecahkan.
Teori Perubahan Siklus
Evolusionis
termasuk Marx menampilkan fakta-fakta yang dipilih dari perkembangan sejarah
atau untuk membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat barat yang
kontemporer. Tingkat perubahan sosial sangat berbeda dari masyarakat ke
masyarakat yang lain, dari waktu ke waktu dalam masyarakat tertentu. Demikian
juga arah perubahan yang terjadi juga berbeda-beda.
Teori Sejarah
Antitesis
terhadap teori bahwa perubahan sosial menuju ke arah kesempurnaan adalah kuno
dan menimbulkan ide bahwa perubahan sosial tidak menuju kesempurnaan tetapi
menuju kepunahan. Muncul dan menurunnya peradaban dimasa lalu dapat disamakan
dengan siklus hidup, manusia lahir, tumbuh dewasa, tua dan mati. Teori dapat
didiskreditkan oleh berbagai bukti yang mendasarinya, karena catatan sejarah
mengindikasikan bahwa peradaban naik turun, tetapi dengan cara yang tidak
konsisten, memiliki banyak tempat dan bagian dalam setiap peradaban. Bacaan
penutup dari catatan sejarah memberi kesan tidak adanya banyak siklus sejarah,
tetapi siklus dalam siklus dimana masing-masing siklus masih ada siklus-siklus
masih ada siklus-siklus yang lebih kecil.
Teori
Partikularistik dari Perubahan Sosial
Mereka
menggambarkan bahaya dalam analisis perubahan sosial, yaitu menerapkan konsep
sebab dan akibat yang sederhana yang secara ilmiah tidak dapat dipertahankan.
a. Difusionisme
Dalam beberapa periode sejarah suatu masyarakat mempertahankan suatu bentuk dominasi budaya terhadap banyak budaya lain, biasanya dengan memberikan ide baru, alat dan bentuk organisasi. G.Elliot Smith menyimpulkan bahwa penemuan masyarakat Mesir pada tahun 3000 SM merupakan penyebab perubahan sosial di berbagai masyarakat dunia, bahwa apa yang ditemukan masyarakat Mesir tersebar (diffused) ke masyarakat lain dan oleh mereka.
Dalam beberapa periode sejarah suatu masyarakat mempertahankan suatu bentuk dominasi budaya terhadap banyak budaya lain, biasanya dengan memberikan ide baru, alat dan bentuk organisasi. G.Elliot Smith menyimpulkan bahwa penemuan masyarakat Mesir pada tahun 3000 SM merupakan penyebab perubahan sosial di berbagai masyarakat dunia, bahwa apa yang ditemukan masyarakat Mesir tersebar (diffused) ke masyarakat lain dan oleh mereka.
b. Determinisme Geografis
Terdapat kepercayaan bahwa
masyarakat yang hidup di belahan utara memiliki karakter keras dan kuat dan
sebaliknya di belahan selatan memiliki karakteristik yang tenang, cenderung
agak malas. Hasilnya adalah teori inklusif mengenai determinisme geografis.
c. Determinisme Biologis
Inti dari determinisme biologis
adalah asumsi bahwa masyarakat dunia dibagi menjadi ras-ras, kelompok-kelompok
yang berbeda secara biologis, bahwa ras memiliki kemampuan yang berbeda untuk
mengembangkan dan memelihara kehidupan sosial, dan bahwa bentuk dan kualitas
kehidupan sosial, dan bahwa bentuk dan kualitas kehidupan sosial yang
mengarahkan masyarakat merupakan indikator dari kualitas rasial masyarakat itu.
Perubahan dalam habitat biologis, dan berlaku juga untuk perubahan habitat
fisik, bukan penyebab perubahan sosial.
Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial
Pada
permulaan abad ini pembentukan sistem interpretasi perubahan sosial berlaku dan
kegagalan para filosof sosial untuk menghasilkan konsep ilmiah yang dapat
dilaksanakan sebagian bertanggung jawab atas ketertinggalan pendekatan historis
untuk perubahan sosial dan studi sosiologi tentang perubahan itu sendiri.
a. Asimilasi
Asimilasi adalah mengembangkan
sikap-sikap yang sam, walaupun kadang-kang bersifat emosional bertujuan
mencapai kesatuan atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi
sehingga dua kelompok yang berasimilasi akan menghilangkan perbedaan diantara
mereka. Seseorang yang berasimilasi terhadap suatu kelompok tidak akan
membedakan dirinya dengan para anggota kelompok tersebut.
Proses yang dilalui para imigran di
Amerika untuk mengambil alih adat, cara, nilai dan sebagainya dari masyarakat
Amerika disebut asimilasi. Hal ini secara sosiologis sejajar dengan studi
akulturasi masyarakat primitif dan petani kedalam teknik, nilai dan sebagainya
dari kehidupan perindustrian.
b. Ekologi sosial
Para ahli ekologi sosial menerapkan
konsep ekologi pada studi tentang hubungan spasial berbagai kelas dalam
populasi perkotaan, masing-masing kelas di anggap setara dengan spesies tanaman
atau hewan. Gagal mengetahui bahwa perubahan sosial merupakan fenomena yang
kompleks dan tidak pasti yang tidak dapat dijelaskan dari segi yang setara
dengan ilmu fisika atau biologi.
c. Ketertinggalan sosial
Dengan kemajuan teknologi terjadi
gangguan pada tatanan sosial yang ada, sehingga menimbulkan ketegangan antara
teknik baru dengan berbagai aspek organisasional dari sistem sosial. Hasilnya
adalah ketertinggalan sosial, yaitu ketidak seimbangan antara teknologi baru
dengan organisasi sosial yang lama. Inti dari teori Ogburn adalah ide bahwa
perubahan pertama kali terjadi dalam teknologi bahan.
d. Akselerasi budaya
Hart menyimpulkan bahwa perubahan
sosial bersifat linear dan akseleratif (cepat), dan bahwa arah perubahan menuju
peningkatan efisiensi dan efektivitas. Kesalahan dasar Hart adalah menggunakan
kriteria kuantitatif sebagai indikator tingkat perubahan dalam struktur
masyarakat. Dengan data kuantitatif dia menarik kesimpulan sifat dari elemen
masyarakat, tidak hanya sifat tentang karakteristik teknologi tetapi juga
karakteristik ideologi dan organisasi.
e. Sosiologi dan perubahan sosial
Para sosiolog Amerika mengatakan
bahwa kekuatan yang membuat perubahan social semuanya berada pada masa
sekarang, sehingga melalui studi masa kini, segala sesuatunya akan diketahui
masa lalu dan masa depan. Evolusionis abad 19 berasumsi bahwa perubahan social
terjadi melalui proses yang di bangun masyarakat secara melekat. Berbeda dengan
para soaiolog abad 20 yang menganggap penemuan sebagai bukti masyarakat
menghasilkan inovasi dan muncul sebagai produk sosial.
Perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat bersifat asosial; perubahan bukan merupakan produk mayarakat atau
konsekuensi dari hokum kehidupan universal dan tidak berbeda. Perubahan social
tidak setara dengan perubahan yang terjadi pada organisme hidup. Perubahan
terjadi dalam masyarakat jauh lebih setara dengan pelanggaran proses organic
yang normal. Kekuatan yang membuat perubahan social bersifat abnormal,
pelanggaran proses normal di mana system sosial diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya.
((Ibrahim,
1988)
3. Guru agama dan peran pembelajaran
Dalam
menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial yang semakin meningkat
intensitasnya tersebut, guruagama harus mampu berperan secara optimal dalam
menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi pemikiran Tilaar (1998),
paling tidak, ada tiga fungsi guru agama, yaitu: (1) sebagai agen perubahan,
(2) sebagai pengembang sikap moral, dan (3) seorang pendidik profesional.
Pertama,
sebagai agen perubahan. Dalam
masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada sosok lain selain guru agama
yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi agen perubahan, karena guru
agama langsung dapat berhadapan dengan peserta didik (generasi muda) bahkan
masyarakat pada umumnya, seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi
merupakan unsur yang paling terdepan dan strategis dalam membawa peserta didik
menuju pribadi muslim yang setiap gerak langkahnya selalu bersendikan.
Kedua,
sebagai pengembang sikap moral.
Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini masalah kerjasama antar
peserta didik mulai terabaikan. Konflik antar teman terjadi di mana-mana, baik
di sekolah maupun luar nilai-nilai religius sekolah. Bahkan kalau tidak
diantisipasi secara dini, tidak mustahil akan muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian,
dan minum-minuman keras di lingkungan sekolah. Dalam kondisi yang demikian,
peran guru agama sangat diperlukan untuk menanamkan sikap saling
pengertian dan toleransi terhadap sesama peserta didik. Di sinilah diperlukan
hubungan antar peserta didik yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap
saling menghargai perbedaandan kekurangan diantara sesama peserta didik tanpa
memandang perbedaan kelas sosial, agama, suku, ras, dan asal usulnya. Untuk itu
sesuatu yang harus ditanamkan guru agama kepada peserta didik adalah sikap
moral sebagai berikut: (1) tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, (2) (baik
sangka) khusnudhon, (3) menghargai diri dan orang lain,
(4)menerima tanggungiawab bagi perbuatan yang dilakukan sendiri, (5) positif
terhadap pendidik dan teman sekelas, (6) menjaga milik sendiri dan menjaga
milik teman lain, (7) ketepatan waktu mengerjakan tugas pelajaran, dan (8)
jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan orang lain (Al-Maududi,
1983).
Ketiga, seorang pendidik profesional. Guru
agama adalah salah satu pendidik pada suatu institusi pendidikan. Dia dianggap
profesional, apabila memiliki daya abstraksi dan komitmen tingkat tinggi
(Glickman, dalam Bafadal, 1999). Dengan kata lain, guru agama dikatakan
profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan
memiliki komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya.
Seorang guruagama yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar
dan baik (do the right thing and do it right).Konsekuensinya adalah dia
harus selalu mengembangkan tingkah laku dan tindakan strategis yang cermat
dalam upaya membangun ruh islamiyah dan uswah hasanah di
lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas.
Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara
sungguh-sungguh, cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan
sesuatu berdasarkan pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus
mampu membaca “tanda-tanda zaman”. Artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai
strategis untuk masa kini dan yang akan datang dalam upaya pembentukan jiwa
religius peserta didik.
Untuk
mendukung tiga fungsi tersebut, maka guru agama harus mempunyai seperangkat
kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai
berikut: (1) kepribadian yang matang dan berkembang. Artinya seorang guru agama
mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat membimbing peserta
didiknya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya, mempunyai ciri-ciri
kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika tingkah
laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat; (2) penguasaan ilmu dan
teknologi yang kuat. Artinya guru agama dituntut untuk mampu membawa peserta
didik memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus berkembang, sebab apabila
guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil hal itu dapat
dilakukan; (3) keterampilan membangkitkan minat peserta didik. Artinya
penguasaan metodologis bagi guru agama sangat diperlukan untuk membangkitkan
semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama peserta didik dan (4)
pengembangan profesi yang berkesinambungan, artinya seorang guru agama harus
berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan dengan
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, karena ilmu pendidikan dan keguruan
serta teknologi terus berkembang pesat (Ghofir, 1999).
Apabila
guru agama dapat melaksanakan perandan fungsi tersebut, maka tidak mustahil
pembelajaran pendidikan agama akan memberikan hasil yang optimal, yang pada
akhirnya mampu membentuk pribadi muslim peserta didik. Dengan demikian,
budaya-budaya negatif yang muncul di sekolah dapat ditekan seminimal mungkin.
(Anfreas, 2001)
Peran Guru Agama dalam menanggulangi
kebiasaan negatif
Sebagai
guru agama harus dan menyadari bahwa dia akan selalu menghadapi persoalan
kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab profesi, yaitu: Pertama, persoalan
peserta didik dengan segala latar belakangnya, metode dengan segala ragamnya,
dan kurikulum dengan segala perangkatnya dan keharusan peningkatan kualitas dan
profesionalisme, terutama masalah pendidikan dan pembelajaran yang
kadang-kadang tidak sebanding dengan tanggungjawab yang diembannya, yaitu
membentuk kepribadian peserta didik.
Kedua,
di tangan guru agama perubahan anak
manusia sebagian diserahkan untuk pembinaan spiritual dan moral, di samping
orang tua di rumah. Sebab berdasarkan kajian psikologis, bahwa pengalaman
seseorang sepanjang hidupnya akan lebih banyak diwarnai oleh pengalaman dia di sekolah.
Ini memberikan implikasi bahwa guru agama harus siap berjuang dan mempunyai ghirah
keilmuan dan keagamaan yang tinggi serta cinta terhadap tugasnya. Karena
dia dituntut untuk dapat melahirkan anak bangsa menjadi manusia-manusia yang
berkualitas dan bermoral serta spiritual yang kokoh.
Mukti Ali
(mantan Menteri Agama RI) mengatakan agar para guru agama tidak hanya sekedar
melakukan transformasi pengetahuan, tetapi juga melakukan tran-saksi dan
trans-internalisasi. Karena pendidikan agama selama ini masih
lebih banyak bersifat transformasi dengan dukungan profesionalisme, sehingga
hasilnya adalah banyak peserta didik yang "pinter tapi ora bener”
(bahasa Jawa), atau pandai tapi komitmen keislamannya relatif rendah
(Muhaimin, 1992). Untuk itu agar tercipta peserta didik yang "pinter
lan bener’, maka pendidikan agama harus diberikan secara mantap dan
langsung menyentuh pada kepribadian peserta didik.
Namun
demikian, upaya ini tidak akan berhasil kalau tidak dilakukan secara kolektif
oleh semua gurudi sekolah. Untuk itu, suatu keharusan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi adalah para guru agama perlu bekerjasama dengan guru-guru
"non-agama" atau guru umum dalam aplikasi dan implementasi Pendidikan
Agama sehari-hari. Para guruagama perlu mengetahui nilai-nilai apa yang dapat
dikenalkan pada diri peserta didik melalui kegiatan pendidikan di luar
Pendidikan Agama, seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Bahasa,
Sejarah, dan Pendidikan Jasmani.
Penanaman
nilai-nilai tersebut, termasuk nilai yang mendasari kehidupan ilmu dan
teknologi serta nilai pengaturan perubahan sosial budaya, akan lebih berhasil
kalau dilaksanakan sebagai upaya kolektif, tanpa harus membebankan kepada guru
agama semata (Muhaimin, 1992). Dengan ini diharapkan akan tercipta kegiatan afektif,
dimana peserta didikakan mempunyai kemampuan mempersepsi ilmu dan teknologi
serta keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normal. Agama, sehingga
peserta didik memiliki nilai dan sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan
hidup, dan etos dunia yang berasal dari kesadaran religius.
Meskipun
sebagai upaya kolektif, guru agama harus tetap sebagai pioner pendidikan agama,
karena mereka merupakan “penjaga moral” di sekolah. Untuk itu, guru agama
dituntut untuk selalu mengembangkan perkembangan ilmu dan teknologi yang
bersendikan nilai-nilai islami, sehingga terdapat suasana yang
komunikatif-religius dengan peserta didiknya. Hal inilah yang akan membawa guru
agama semakin eksis dan dicintai oleh peserta didiknya. Karena itu, guru agama
dalam mengikuti perkembangan zaman dituntut untuk mempunyai ide dan pikiran
yang dinamis, produktif dan inovatif, sehingga peserta didik dalam pemahaman
ilmu dan agamanya akanlebih kritis kemampuan profesional, intelektual, moral
dan spiritual untuk merangsang terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di
masyarakat, sehingga agama fungsional pada diri peserta didik.
Untuk
mewujudkan semua itu, guru agama harus membekali diri dengan seperangkat nilai,
sikap, dan keterampilan yang mencakup: kepandaian, keterampilan, ketelitian,
kesabaran, kejujuran, kedisiplinan, keterbatasan, kehormatan diri, dan ketaatan
menjalankan perintah agama, sehingga guru agama dapat menjadi uswah hasanah dan
menjadikan peserta didik ber-akhlakul karimah. Akhlakul kurimah tidak
hanya sekedar peserta didik dapat membedakan baik-buruk tetapi lebih dari pada
itu, akhlakul karimah dapat tercemin dalam pribadi yang mandiri, jujur,
disiplin, bertanggungjawab, tidak pamrih, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis,
dan suka bekerja keras (Mudzhar, 1992).
Secara
praktis-pragmatis, bekal yang harus dimiliki oleh guru agama dalam menjalankan
tugas mendidik, mengajar dan memimpin dalam menghadapi berbagai perilaku
negatif di sekolah adalah:
a. Guru agama harus banyak membaca dan
mengikuti perkembangan informasi yang ada di sekitarnya, guna dimanfaatkan
untuk memudahkan pekerjaannya. Pengetahuan dan pemahaman akan infomasi yang
berkembang dapat memudahkan guru agama untuk mengantisipasi dampak negatif yang
mungkin dapat dibawa oleh informasi itu ke sekolah.
b. Guru agama harus memahami: (a)
tahap-tahap perkembangan berfikir moral, dan kepercayaan eksistensial peserta
didik, (b) strategi membelajarkan peserta didik berdasarkan kemajuan
tingkat-tingkat kognitif, efektif, dan psikomotorik, (c) budaya de-humanisasi,
perbudakan dan keberhalaan yang terkandung dalam benda-benda teknologi, dan (d)
bahwa pembelajaran berlangsung sepanjang hayat, dan secara komplementer akan
sejalan dengan pembelajaran pada bidang ilmu, kesenian, dan kesusilaan.
c. Guru agama harus memahami bahwa pembelajaran
yang berfokus pada kemajuan kepercayaan eksistensial tidak berada dalam suasana
vakum/kosong, tetapi teruji dengan berbagai benda, perilaku, norma, nilai, ide,
dan simbol modem masyarakat industri. Disilah diperlukan kearifan bagi guru
agama dalam menterjemahkan produk-produk industri modern, supaya tidak terbawa
pada sikap konsumerisme dan hedonisme.
d. Guru agama harus memahami bahwa,
pemilihan unsur-unsur budaya manapun, dan pilihan strategi, metode, dan teknik
pembelajaran apapun, tolok ukur keberhasilannya adalah dampak pengiring yang
mewujudkan pribadi muslim atau anak shaleh yang termanifestasikan pada pribadi
umat yang dewasa (Dimyati, 1995).
Apabila
guru agama dapat melaksanakan hal tersebut, akan melahirkan optimisme bahwa
lembaga pendidikan yang dibina, dimanapun juga, akan menjadi pilihan umat.
Untuk itu, menjadi pilihan umat dan selalu memberikan yang terbaik kepada semua
umat harus menjadi bagian penting dalam hidup seorang guru agama dan komitmen
itu harus selalu bersemayam dalam nuraninya.
(Surakhmad,
Winarno dkk, 2003)
PENUTUP
Kesimpulan
1. Perubahan
sosial adalah pembelajaran kembali individu
atau kelompok sebagai reaksi terhadap adanya tuntutan aktivitas dalam situasi
yang baru, yang menghasilkan perubahan baik, dalam bentuk dan atau fungsi
sistem sosial.
2. Macam-macam
konsep perubahan sosial
a. Konsep Kemajuan Sosial
b. Konsep Sosialistik Mengenai
Perubahan
c. Teori Perubahan Siklus
d. Teori Sejarah
e. Teori Partikularistik dari Perubahan
Sosial
f. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial
3. Ada tiga fungsi guru agama, yaitu:
sebagai agen perubahan, sebagai pengembang sikap moral, dan seorang pendidik
profesional.
Daftar Pustaka
Anfreas,
Harifa. 2001. Pembelajaran di era serba otonomi. Kompas. Jakarta.
Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Jakarta.
Mbulu, Joseph dkk. 2005. Pengantar
Pendidikan. Laboratorium Teknologi Pendidikan. Malang.
Surakhmad,
Winarno dkk. 2003. Mengurai benang kusut Pendidikan. Pustaka Pelajar.
Jakarta.
Posting Komentar