0
makalah: di sajikan oleh ACHMAD GHAZALI S.HI

PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Dewasa ini guru agama, bukan hanya berperan sebagai pengajar dalam arti yang sempit (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai pendidik (transfer of values). Di samping itu, ia harus juga memainkan peranan sebagai pemimpin, pengelola, pembimbing dan fasilitator guna memudahkan proses pembelajaran pendidikan agama, atau diistilahkan sebagai leader of learning, director of learning, manager of learning, dan sekaligus facilitator of learning. Dengan peranan tersebut, guru agama diharapkan mampu membangkitkan sikap religius peserta didik. Peserta didik diharapkan mampu merespon perubahan jaman yang terjadi, tetapi tidak terbawa arus perubahan dunia yang semakin global.
Namun dalam kenyataannya, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama di sekolah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guru agama belum mampu membentuk kepribadian peserta didik secara utuh.
Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus kenakalan peserta didik dalam berbagai bentuknya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Meskipun kenakalan remaja tidak semata-mata disebabkan oleh pendidikan agama yang gagal, tetapi sering kali guru agama menjadi “tumpuan harapan” terbentuknya akhlakul karimah, sehingga apabila terjadi kenakalan peserta didik, guru agama sering menjadi sasaran. Persepsi ini tidak selamanya benar, dan juga tidak semuanya salah. Karena guru agama dianggap sebagai “penjaga moral” di lingkungan sekolah, sehingga baik buruknya akhlak siswa sering dialamatkan kepada guru agama.
Dalam perspektif pembelajaran menunjukan bahwa, guru agama dalam membelajarkan agama selama ini masih dianggap kurang berhasil dan belum memenuhi logika zamannya. Karena pembelajaran agama yang dilakukan secara indoktrinatif-normatif, sehingga tidak mampu menyenternalisasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik dan akibatnya peserta didik tidak mampu menjadikan agama sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Disamping itu kegagalan pembelajaran agama adalah karena lebih menekankan pada aspek ibadah dan syariah sementara pembelajaran akhlak kurang mendapat perhatian. Akibatnya peserta didik punya semangat beribadah dan mengerti tentang hukum-hukum agama, tetapi perilakunya banyak menyimpang. Pembelajaran agama sering dipersepsi oleh peserta didik sebagai ilmu yang tidak mempunyai nilai praktis-problematis dalam kehidupan, sehingga “diperlakukan” sama dengan ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, paradigma pendidikan agama harus diletakkan dalam kerangka fungsional-kontekstual yang mampu menyentuh aspek-aspek riil peserta didik dengan meninggalkan model tekstual-normatif. Dengan ini diharapkan agar peserta didik mampu menghadapi dunia dengan terbuka, tanpa harus tergoda oleh gemerlapnya dunia yang menyesatkan. Untuk mencapai cita-cita ini, maka guru agama harus mampu menjadikan pendidikan agama fungsional dalam kehidupan dan bersemayam dalam nurani peserta didik.

2.    Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1)   Pengertian perubahan sosial
2)   Macam-macam konsep perubahan sosial
3)   Guru agama dan peran pembelajaran

3.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui:
1)   Pengertian perubahan sosial
2)   Macam-macam konsep perubahan sosial
3)   Guru agama dan peran pembelajaran





ISI DAN PEMBAHASAN

1.    Pengertian perubahan sosial
Setiap inovasi merupakan pemanfaatan unsur-unsur budaya yang tidak dapat dipungkiri dan pelanggaran terhadap aspek-aspek status quo budaya. Sejarah mencatat bahwa yang diinginkan bukan sekedar perubhan tetapi lebih pada stabilitas. Masyarakat berusaha memelihara kontinyuitas kehidupan sosial, baik dalam keadaan stabil maupun dalam proses perubahan sosial.
Perubahan sosial adalah perubahan untuk mencapai ketentraman sosial yang stabil. Stabilitas tidak hanya pada kondisi sosial yang ideal, tetapi juga pada kodisi normal. Menurut Zaltman dan Duncan menyimpulkan bahwa perubahan sosial adalah pembelajaran kembali individu atau kelompok sebagai reaksi terhadap adanya tuntutan aktivitas dalam situasi yang baru, yang menghasilkan perubahan baik, dalam bentuk dan atau fungsi sistem sosial.
Sistem pendidikan yang maju, sikap menghargai pendapat/karya milik orang lain, orientasi masa depan, penduduk yang heterogen, serta sistem pelapisan masyarakat yang terbuka. Hal-hal tersebut merupakan faktor pendorong dalam perubahan sosial. Dalam pembahasan ini yang sangat mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dewasa ini adalah orientasi kehidupan ke masa depan sehingga memajukan sistem pendidikan agar dapat mencetak penemuan-penemuan baru yang akhirnya mampu menggeser tatanan yang berlaku di masyarakat.
(Mbulu, 2005)

2.    Macam-macam konsep perubahan sosial
Konsep Kemajuan Sosial
Reformasi pada abad ke 16 menghasilakan perubahan di bidang religi dan organisasi yang menimbulkan banyak perubhan. Condorent memberikan gambaran bahwa masyarakat dapat meningkatkan hubungan sosial dan mengembangkan teknologi, walaupun pihak kerajaan berusaha menentangnya. Dia berpendapat bahwa pada abad ke 18 perubhan memang diinginkan, sedangkan pada abad 19 perubhan selain diinginkan juga tidak teratur. Hal ini merupkan hasil pemikiran intelektulisme Perancis dan Inggris. Pada abad 18 Condorent memberikan gambaran bahwa masyarakat dapat meningkatkan interaksi sosial seperti mengembangkan teknologi. Sedangkan p[ada abad ke 19 perubahan berdasarkan asumsi yang dikemukakan oleh Saint Simon dengan gagasan sosialis dan mengalami modifikasi dan diterjemahkan dengan tindakan setelah revolusi Rusia.
Gagasan kemajuan sosial, menimbulkan keretakan yang tajam dengan pemikiran sosialis yang banyk dianut pada pertengahan abad ke 19 yang dikenal sebgai inovasi ideologi. Hal tersebut terkait dengan gagasan tradisional yang dipropagandakan pihak gereja bahwa kehidupan di dunia adalah penderitaan setelah menerima hukuman Tuhan diturunkan dari surga. Sedangkan gagasan kemajuan sosial berbeda bahwa kehidupan manusia ditemukn oleh manusia sendiri. Manusia membentuk masyarakat dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Gagasan kemajuan menyangkut banyak aspek, seperti rencana politik dan kehidupan yang lebih baik.
a.    Evolusionisme
Gagasan memungkinkan masyarakat untuk berkembang melalui upaya yang hati-hati dalam satu bentuk atau yang lain dan mencakup berbgi segmen masyarakat seperti yang kita temukan saat ini. Hal ini merupakan basis ideoloi pada berbagai upaya reformasi sosial, hukum dan lainnya. Comte sebagai “bapak” sosiologi melengkapi konsep kemajuan sosial bahwa setiap masyarakat harus berkembang dari tahap teologi sampai tahap ilmiah. Pada tahap akhir, yakni tahap ilmih, kontrol rasional pada manusia menjadi mungkin. Masyarakat barat setelah mengenal sosiologi dapat mencapai tingkat pemikiran ilmiah, sehingga dapat menyusun sistem pengembangan kehidupan sosial. Banyak teori evolusi sosial yang sangat berlawanan telah dikembangkan yang masing-masing memberi dasar pemikiran yang memuaskan mengenai perubhan yang menarik bagi pencetus teorinya.


b.    Neo Evolusionisme
Ide tentang perubahan sosial sebagai sesuatu yang normal dan tidak dapat dielakkan perubahan dari buruk ke baik dan dari baik ke lebih baik merupakan warisan intelektual yang tak dapat dihilangkan oleh ahli sosiologi modern. Lester F. Ward memadukan positivisme Comte dengan Darwinisme dan kepercayaan tradisional Amerika pada keuntungan sosial pendidikan sekolah luar negeri untuk menghasilkan konsep kemajun sosial. Ward percya bahwa aplikasi ilmu pengetahuan terjadi melalui tingkah laku yang rasional pada anggota masyarakat, sehingga dia dianggap sebagai bapak teori pendidikan. Ward adalah satu-satunya ahli sosiologi Amerika yang terkenal membuat konsep evolusioner sebagai perhatian utamanya. Perubahan sosial di Inggris diberi sentuhan para ilmuan sosial pada abad ke 20 dengan tokoh-tokohnya Graham Wallas, Leonard Hobhouse dan Morris Ginsburg. Mereka percaya bahwa perubahan sosial tidak dpat terelakkan dan mereka berpendapat bahwa arah perubahan sosial adalah bentuk organisasi yang sederhana sangat berbeda, tetapi pda saat yang sama sangat terpadu yang menjadi karakteristik masyarakat modern.

Konsep Sosialistik Mengenai Perubahan
Evolusionisme cenderung mendominasi pikiran sosial abad 19 sampai abad ini; tetapi hal trsebut sering kali digabungkan dengan konsep kemajuan melalui tindakan sosial yang rasional untuk membenarkan suatu bentuk program reformasi.
a.    Anarkisme
Para reformer dan pemikir Perancis mengembangkan ide bahwa penghalang kemajuan sosial adalah pemerintah. Kemajuan hanya dapat terjadi apabila pemerintah dihilangkan; akibat yang ditimbulkan adalah anarki. Tujuan mereka adalah pencapaian masyarakat utopia.
b.    Marxisme
Karl Mark berada secara langsung dalam tradisi evolusioner. Dia menganggap pemerintah yang mengendalikan kaum kapitalis. Bagi Marx, perubahan sosial hanyalah sarana untuk mencapai stabilitas sosial pada tingkat utopia.
c.    Sosialisme fabian
Teori sosialis Fabian paling dekat dengan teori Marxisme. Mereka berpendapat bahwa transisi dari kapitalisme ke sosialisme dilakukan secara bertahap dan sepotong-potong.
d.   Reformisme Moralistik
Penganut reformasi ini memiliki keyakinan pada kekuatan kelompok minoritas yang terorganisasikan untuk melakukan perubahan sosial. Mereka juga memiliki dasar moral yang membenarkan pergerakan tersebut. Pergerakan ini berpusat di greja, tetapi tetap berada di luar arena perselisihan sosial yang terorganisasikan. Pergerakan ini jarang terpikirkan hasilnya dan bahkan menimbulkan masalah yang lebih besar dari yang mereka pecahkan.

Teori Perubahan Siklus
Evolusionis termasuk Marx menampilkan fakta-fakta yang dipilih dari perkembangan sejarah atau untuk membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat barat yang kontemporer. Tingkat perubahan sosial sangat berbeda dari masyarakat ke masyarakat yang lain, dari waktu ke waktu dalam masyarakat tertentu. Demikian juga arah perubahan yang terjadi juga berbeda-beda.

Teori Sejarah
Antitesis terhadap teori bahwa perubahan sosial menuju ke arah kesempurnaan adalah kuno dan menimbulkan ide bahwa perubahan sosial tidak menuju kesempurnaan tetapi menuju kepunahan. Muncul dan menurunnya peradaban dimasa lalu dapat disamakan dengan siklus hidup, manusia lahir, tumbuh dewasa, tua dan mati. Teori dapat didiskreditkan oleh berbagai bukti yang mendasarinya, karena catatan sejarah mengindikasikan bahwa peradaban naik turun, tetapi dengan cara yang tidak konsisten, memiliki banyak tempat dan bagian dalam setiap peradaban. Bacaan penutup dari catatan sejarah memberi kesan tidak adanya banyak siklus sejarah, tetapi siklus dalam siklus dimana masing-masing siklus masih ada siklus-siklus masih ada siklus-siklus yang lebih kecil.

Teori Partikularistik dari Perubahan Sosial
Mereka menggambarkan bahaya dalam analisis perubahan sosial, yaitu menerapkan konsep sebab dan akibat yang sederhana yang secara ilmiah tidak dapat dipertahankan.
a.    Difusionisme
Dalam beberapa periode sejarah suatu masyarakat mempertahankan suatu bentuk dominasi budaya terhadap banyak budaya lain, biasanya dengan memberikan ide baru, alat dan bentuk organisasi. G.Elliot Smith menyimpulkan bahwa penemuan masyarakat Mesir pada tahun 3000 SM merupakan penyebab perubahan sosial di berbagai masyarakat dunia, bahwa apa yang ditemukan masyarakat Mesir tersebar (diffused) ke masyarakat lain dan oleh mereka.
b.    Determinisme Geografis
Terdapat kepercayaan bahwa masyarakat yang hidup di belahan utara memiliki karakter keras dan kuat dan sebaliknya di belahan selatan memiliki karakteristik yang tenang, cenderung agak malas. Hasilnya adalah teori inklusif mengenai determinisme geografis.
c.    Determinisme Biologis
Inti dari determinisme biologis adalah asumsi bahwa masyarakat dunia dibagi menjadi ras-ras, kelompok-kelompok yang berbeda secara biologis, bahwa ras memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengembangkan dan memelihara kehidupan sosial, dan bahwa bentuk dan kualitas kehidupan sosial, dan bahwa bentuk dan kualitas kehidupan sosial yang mengarahkan masyarakat merupakan indikator dari kualitas rasial masyarakat itu. Perubahan dalam habitat biologis, dan berlaku juga untuk perubahan habitat fisik, bukan penyebab perubahan sosial.


Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial
Pada permulaan abad ini pembentukan sistem interpretasi perubahan sosial berlaku dan kegagalan para filosof sosial untuk menghasilkan konsep ilmiah yang dapat dilaksanakan sebagian bertanggung jawab atas ketertinggalan pendekatan historis untuk perubahan sosial dan studi sosiologi tentang perubahan itu sendiri.
a.    Asimilasi
Asimilasi adalah mengembangkan sikap-sikap yang sam, walaupun kadang-kang bersifat emosional bertujuan mencapai kesatuan atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi sehingga dua kelompok yang berasimilasi akan menghilangkan perbedaan diantara mereka. Seseorang yang berasimilasi terhadap suatu kelompok tidak akan membedakan dirinya dengan para anggota kelompok tersebut.
Proses yang dilalui para imigran di Amerika untuk mengambil alih adat, cara, nilai dan sebagainya dari masyarakat Amerika disebut asimilasi. Hal ini secara sosiologis sejajar dengan studi akulturasi masyarakat primitif dan petani kedalam teknik, nilai dan sebagainya dari kehidupan perindustrian.
b.    Ekologi sosial
Para ahli ekologi sosial menerapkan konsep ekologi pada studi tentang hubungan spasial berbagai kelas dalam populasi perkotaan, masing-masing kelas di anggap setara dengan spesies tanaman atau hewan. Gagal mengetahui bahwa perubahan sosial merupakan fenomena yang kompleks dan tidak pasti yang tidak dapat dijelaskan dari segi yang setara dengan ilmu fisika atau biologi.
c.    Ketertinggalan sosial
Dengan kemajuan teknologi terjadi gangguan pada tatanan sosial yang ada, sehingga menimbulkan ketegangan antara teknik baru dengan berbagai aspek organisasional dari sistem sosial. Hasilnya adalah ketertinggalan sosial, yaitu ketidak seimbangan antara teknologi baru dengan organisasi sosial yang lama. Inti dari teori Ogburn adalah ide bahwa perubahan pertama kali terjadi dalam teknologi bahan.
d.   Akselerasi budaya
Hart menyimpulkan bahwa perubahan sosial bersifat linear dan akseleratif (cepat), dan bahwa arah perubahan menuju peningkatan efisiensi dan efektivitas. Kesalahan dasar Hart adalah menggunakan kriteria kuantitatif sebagai indikator tingkat perubahan dalam struktur masyarakat. Dengan data kuantitatif dia menarik kesimpulan sifat dari elemen masyarakat, tidak hanya sifat tentang karakteristik teknologi tetapi juga karakteristik ideologi dan organisasi.
e.    Sosiologi dan perubahan sosial
Para sosiolog Amerika mengatakan bahwa kekuatan yang membuat perubahan social semuanya berada pada masa sekarang, sehingga melalui studi masa kini, segala sesuatunya akan diketahui masa lalu dan masa depan. Evolusionis abad 19 berasumsi bahwa perubahan social terjadi melalui proses yang di bangun masyarakat secara melekat. Berbeda dengan para soaiolog abad 20 yang menganggap penemuan sebagai bukti masyarakat menghasilkan inovasi dan muncul sebagai produk sosial.
Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat bersifat asosial; perubahan bukan merupakan produk mayarakat atau konsekuensi dari hokum kehidupan universal dan tidak berbeda. Perubahan social tidak setara dengan perubahan yang terjadi pada organisme hidup. Perubahan terjadi dalam masyarakat jauh lebih setara dengan pelanggaran proses organic yang normal. Kekuatan yang membuat perubahan social bersifat abnormal, pelanggaran proses normal di mana system sosial diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.
((Ibrahim, 1988)

3.    Guru agama dan peran pembelajaran
Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial yang semakin meningkat intensitasnya tersebut, guruagama harus mampu berperan secara optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi pemikiran Tilaar (1998), paling tidak, ada tiga fungsi guru agama, yaitu: (1) sebagai agen perubahan, (2) sebagai pengembang sikap moral, dan (3) seorang pendidik profesional.
Pertama, sebagai agen perubahan. Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada sosok lain selain guru agama yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi agen perubahan, karena guru agama langsung dapat berhadapan dengan peserta didik (generasi muda) bahkan masyarakat pada umumnya, seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi merupakan unsur yang paling terdepan dan strategis dalam membawa peserta didik menuju pribadi muslim yang setiap gerak langkahnya selalu bersendikan.
Kedua, sebagai pengembang sikap moral. Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini masalah kerjasama antar peserta didik mulai terabaikan. Konflik antar teman terjadi di mana-mana, baik di sekolah maupun luar nilai-nilai religius sekolah. Bahkan kalau tidak diantisipasi secara dini, tidak mustahil akan muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan minum-minuman keras di lingkungan sekolah. Dalam kondisi yang demikian, peran guru agama sangat diperlukan untuk menanamkan sikap saling pengertian dan toleransi terhadap sesama peserta didik. Di sinilah diperlukan hubungan antar peserta didik yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap saling menghargai perbedaandan kekurangan diantara sesama peserta didik tanpa memandang perbedaan kelas sosial, agama, suku, ras, dan asal usulnya. Untuk itu sesuatu yang harus ditanamkan guru agama kepada peserta didik adalah sikap moral sebagai berikut: (1) tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, (2) (baik sangka) khusnudhon, (3) menghargai diri dan orang lain, (4)menerima tanggungiawab bagi perbuatan yang dilakukan sendiri, (5) positif terhadap pendidik dan teman sekelas, (6) menjaga milik sendiri dan menjaga milik teman lain, (7) ketepatan waktu mengerjakan tugas pelajaran, dan (8) jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan orang lain (Al-Maududi, 1983).
Ketiga, seorang pendidik profesional. Guru agama adalah salah satu pendidik pada suatu institusi pendidikan. Dia dianggap profesional, apabila memiliki daya abstraksi dan komitmen tingkat tinggi (Glickman, dalam Bafadal, 1999). Dengan kata lain, guru agama dikatakan profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang guruagama yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do it right).Konsekuensinya adalah dia harus selalu mengembangkan tingkah laku dan tindakan strategis yang cermat dalam upaya membangun ruh islamiyah dan uswah hasanah di lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas. Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara sungguh-sungguh, cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca “tanda-tanda zaman”. Artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini dan yang akan datang dalam upaya pembentukan jiwa religius peserta didik.
Untuk mendukung tiga fungsi tersebut, maka guru agama harus mempunyai seperangkat kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai berikut: (1) kepribadian yang matang dan berkembang. Artinya seorang guru agama mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat membimbing peserta didiknya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya, mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat; (2) penguasaan ilmu dan teknologi yang kuat. Artinya guru agama dituntut untuk mampu membawa peserta didik memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus berkembang, sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil hal itu dapat dilakukan; (3) keterampilan membangkitkan minat peserta didik. Artinya penguasaan metodologis bagi guru agama sangat diperlukan untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama peserta didik dan (4) pengembangan profesi yang berkesinambungan, artinya seorang guru agama harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan dengan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, karena ilmu pendidikan dan keguruan serta teknologi terus berkembang pesat (Ghofir, 1999).
Apabila guru agama dapat melaksanakan perandan fungsi tersebut, maka tidak mustahil pembelajaran pendidikan agama akan memberikan hasil yang optimal, yang pada akhirnya mampu membentuk pribadi muslim peserta didik. Dengan demikian, budaya-budaya negatif yang muncul di sekolah dapat ditekan seminimal mungkin.
(Anfreas, 2001)

Peran Guru Agama dalam menanggulangi kebiasaan negatif
Sebagai guru agama harus dan menyadari bahwa dia akan selalu menghadapi persoalan kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab profesi, yaitu: Pertama, persoalan peserta didik dengan segala latar belakangnya, metode dengan segala ragamnya, dan kurikulum dengan segala perangkatnya dan keharusan peningkatan kualitas dan profesionalisme, terutama masalah pendidikan dan pembelajaran yang kadang-kadang tidak sebanding dengan tanggungjawab yang diembannya, yaitu membentuk kepribadian peserta didik.
Kedua, di tangan guru agama perubahan anak manusia sebagian diserahkan untuk pembinaan spiritual dan moral, di samping orang tua di rumah. Sebab berdasarkan kajian psikologis, bahwa pengalaman seseorang sepanjang hidupnya akan lebih banyak diwarnai oleh pengalaman dia di sekolah. Ini memberikan implikasi bahwa guru agama harus siap berjuang dan mempunyai ghirah keilmuan dan keagamaan yang tinggi serta cinta terhadap tugasnya. Karena dia dituntut untuk dapat melahirkan anak bangsa menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan bermoral serta spiritual yang kokoh.
Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI) mengatakan agar para guru agama tidak hanya sekedar melakukan transformasi pengetahuan, tetapi juga melakukan tran-saksi dan trans-internalisasi. Karena pendidikan agama selama ini masih lebih banyak bersifat transformasi dengan dukungan profesionalisme, sehingga hasilnya adalah banyak peserta didik yang "pinter tapi ora bener” (bahasa Jawa), atau pandai tapi komitmen keislamannya relatif rendah (Muhaimin, 1992). Untuk itu agar tercipta peserta didik yang "pinter lan bener’, maka pendidikan agama harus diberikan secara mantap dan langsung menyentuh pada kepribadian peserta didik.
Namun demikian, upaya ini tidak akan berhasil kalau tidak dilakukan secara kolektif oleh semua gurudi sekolah. Untuk itu, suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah para guru agama perlu bekerjasama dengan guru-guru "non-agama" atau guru umum dalam aplikasi dan implementasi Pendidikan Agama sehari-hari. Para guruagama perlu mengetahui nilai-nilai apa yang dapat dikenalkan pada diri peserta didik melalui kegiatan pendidikan di luar Pendidikan Agama, seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Bahasa, Sejarah, dan Pendidikan Jasmani.
Penanaman nilai-nilai tersebut, termasuk nilai yang mendasari kehidupan ilmu dan teknologi serta nilai pengaturan perubahan sosial budaya, akan lebih berhasil kalau dilaksanakan sebagai upaya kolektif, tanpa harus membebankan kepada guru agama semata (Muhaimin, 1992). Dengan ini diharapkan akan tercipta kegiatan afektif, dimana peserta didikakan mempunyai kemampuan mempersepsi ilmu dan teknologi serta keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normal. Agama, sehingga peserta didik memiliki nilai dan sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan hidup, dan etos dunia yang berasal dari kesadaran religius.
Meskipun sebagai upaya kolektif, guru agama harus tetap sebagai pioner pendidikan agama, karena mereka merupakan “penjaga moral” di sekolah. Untuk itu, guru agama dituntut untuk selalu mengembangkan perkembangan ilmu dan teknologi yang bersendikan nilai-nilai islami, sehingga terdapat suasana yang komunikatif-religius dengan peserta didiknya. Hal inilah yang akan membawa guru agama semakin eksis dan dicintai oleh peserta didiknya. Karena itu, guru agama dalam mengikuti perkembangan zaman dituntut untuk mempunyai ide dan pikiran yang dinamis, produktif dan inovatif, sehingga peserta didik dalam pemahaman ilmu dan agamanya akanlebih kritis kemampuan profesional, intelektual, moral dan spiritual untuk merangsang terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, sehingga agama fungsional pada diri peserta didik.
Untuk mewujudkan semua itu, guru agama harus membekali diri dengan seperangkat nilai, sikap, dan keterampilan yang mencakup: kepandaian, keterampilan, ketelitian, kesabaran, kejujuran, kedisiplinan, keterbatasan, kehormatan diri, dan ketaatan menjalankan perintah agama, sehingga guru agama dapat menjadi uswah hasanah dan menjadikan peserta didik ber-akhlakul karimah. Akhlakul kurimah tidak hanya sekedar peserta didik dapat membedakan baik-buruk tetapi lebih dari pada itu, akhlakul karimah dapat tercemin dalam pribadi yang mandiri, jujur, disiplin, bertanggungjawab, tidak pamrih, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis, dan suka bekerja keras (Mudzhar, 1992).
Secara praktis-pragmatis, bekal yang harus dimiliki oleh guru agama dalam menjalankan tugas mendidik, mengajar dan memimpin dalam menghadapi berbagai perilaku negatif di sekolah adalah:
a.    Guru agama harus banyak membaca dan mengikuti perkembangan informasi yang ada di sekitarnya, guna dimanfaatkan untuk memudahkan pekerjaannya. Pengetahuan dan pemahaman akan infomasi yang berkembang dapat memudahkan guru agama untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin dapat dibawa oleh informasi itu ke sekolah.
b.    Guru agama harus memahami: (a) tahap-tahap perkembangan berfikir moral, dan kepercayaan eksistensial peserta didik, (b) strategi membelajarkan peserta didik berdasarkan kemajuan tingkat-tingkat kognitif, efektif, dan psikomotorik, (c) budaya de-humanisasi, perbudakan dan keberhalaan yang terkandung dalam benda-benda teknologi, dan (d) bahwa pembelajaran berlangsung sepanjang hayat, dan secara komplementer akan sejalan dengan pembelajaran pada bidang ilmu, kesenian, dan kesusilaan.
c.    Guru agama harus memahami bahwa pembelajaran yang berfokus pada kemajuan kepercayaan eksistensial tidak berada dalam suasana vakum/kosong, tetapi teruji dengan berbagai benda, perilaku, norma, nilai, ide, dan simbol modem masyarakat industri. Disilah diperlukan kearifan bagi guru agama dalam menterjemahkan produk-produk industri modern, supaya tidak terbawa pada sikap konsumerisme dan hedonisme.
d.   Guru agama harus memahami bahwa, pemilihan unsur-unsur budaya manapun, dan pilihan strategi, metode, dan teknik pembelajaran apapun, tolok ukur keberhasilannya adalah dampak pengiring yang mewujudkan pribadi muslim atau anak shaleh yang termanifestasikan pada pribadi umat yang dewasa (Dimyati, 1995).
Apabila guru agama dapat melaksanakan hal tersebut, akan melahirkan optimisme bahwa lembaga pendidikan yang dibina, dimanapun juga, akan menjadi pilihan umat. Untuk itu, menjadi pilihan umat dan selalu memberikan yang terbaik kepada semua umat harus menjadi bagian penting dalam hidup seorang guru agama dan komitmen itu harus selalu bersemayam dalam nuraninya.
(Surakhmad, Winarno dkk, 2003)




















PENUTUP

Kesimpulan
1.    Perubahan sosial adalah pembelajaran kembali individu atau kelompok sebagai reaksi terhadap adanya tuntutan aktivitas dalam situasi yang baru, yang menghasilkan perubahan baik, dalam bentuk dan atau fungsi sistem sosial.
2.    Macam-macam konsep perubahan sosial
a.    Konsep Kemajuan Sosial
b.    Konsep Sosialistik Mengenai Perubahan
c.    Teori Perubahan Siklus
d.   Teori Sejarah
e.    Teori Partikularistik dari Perubahan Sosial
f.     Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial
3.    Ada tiga fungsi guru agama, yaitu: sebagai agen perubahan, sebagai pengembang sikap moral, dan seorang pendidik profesional.
















Daftar Pustaka
Anfreas, Harifa. 2001. Pembelajaran di era serba otonomi. Kompas. Jakarta.

Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta.

Mbulu, Joseph dkk. 2005. Pengantar Pendidikan. Laboratorium Teknologi Pendidikan. Malang.


Surakhmad, Winarno dkk. 2003. Mengurai benang kusut Pendidikan. Pustaka Pelajar. Jakarta.

Posting Komentar

 
Top