0
Assalamualaikum.
para Pembaca Blog tercinta, semoga kiranya kita selalu tetap bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan nikmat tiada tara, dan selalu kita hatur salawat dan salam Kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi pembawa Cahaya dari gegelapan, menuju Terangnya sekalian Alam. Pada Moment yang indah ini, kita akan membahas tentang sifat yang semua orang bisa memililikinya tapi tak semua orang memfungsikan secara maksimal, Pada Hari ini kita akan membahas tentang Malu. Menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki arti merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) krn berbuat sesuatu yg kurang baik (kurang benar, berbeda dng kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb) namun secara makna Malu adalah Perbuatan atau kelakuan dalam menghindari kejelekan,   Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.] Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).] 

Memiliki Sifat Malu tidak lain buahnya Adalah Kemuliaan serta kebaikan Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ. 
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, 

اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ. 
“Malu itu kebaikan seluruhnya.” 
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain]

sifat malu sangat dalam keimanan sehingga Rasulullah memuatkan hadist malu ini sebagai cabang IMAN, 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ. 

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” 
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]

begitu Urgensi sifat malu dalam Kehidupan kita yang memang seharus melekat pada diri kita, namun tak semua orang pandai meletakkan malu Pada Posisinya, dalam hal ini kita akan membagi 2 macam sesuai posisinya sebagai berikut: 

1. malu pada tempatnya 
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ. 
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]

Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).] 

2. Malu luput pada Tempatnya 
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]

Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar. 

Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata, 
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ. 
Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).] 

semoga kita bisa memposisikan Malu pada Tempatnya Karena dengan bisa kita menempatkan maka keberkahan dan kemuliaan serta  kebaikan akan hadir dalam kehidupan singkat ini,  saya akan menutup artikel dengan sebuah pantun dari saya, 
pergi jauh ke malinau
jangan lupa membeli jambu biji
sungguh aku sangat malu 
berbuat pada dosa  ilahi  
demikian yang sampaikan semoga bermanfaat, 

sumber: http://pustakaimamsyafii.com/

   

Posting Komentar

 
Top