BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap manusia menginginkan menjadi insan kamil yaitu
manusia sempurna sebagaimana
Rasul dan Nabi yang berperan dalam menyampaikan risalah menjadi fugur atau suri
teladan yang baik menggambar salah satu sikap insan kamil, sesuai sebagai firman Allah SWT dalam QS.
Al-Ahzab ayat 21:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah
Hal tersebut merupakan salah contoh
penggambaran salah satu sikap sikap insan kamil yang disandarkan kepada
Rasullulah, bilamana kita membicarakan insan kamil ini maka akan teringat
tentang pencetus yaitu Ibn Al-A’rabi, istilah insan kamil muncul pada abad ke-7
H/ 13 M kemudian istelah ini menyebar kepada pengikutnya dan mendapat perhatian
khusus Al-Jlli.
Al
Jilli, seperti Ibn A’arabi memandang
insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna.
Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai
satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap
pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama,
tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu[1].
Kalau secara defenisi secara umum dapat di
deskripsikan bahwa manusia sempurna adalah sebagai sesesorang yang telah
benar-benar merealisasikan penyatuannya yang mendalam dengan Tuhan darimana ia
berasal. Pengalaman ini, yang di nikmati oleh para nabi dan orang suci dan kemudian diteruskan dalam
bentuk simbol kepada orang-orang lainnya. Oleh karena itu, kelompok manusia
sempurna ini tidak hanyaa beranggotakan para nabi, mulai Adam samp Muhammad,
tetapi juga orang terpilih dari kalangan para sufi yaitu orang orang-orang
secara kolektif di sebagai Aulia[2].
Pemikiran
Insan kamil yang di cetuskan jilli tertuang dalam kitab beliau yang berjudul AL
INSAN KAMIL FIL MA'RIFAH AL AWAHIR WA AL AWA'IL (
Manusia sempurna dalam pengetahuan tentang segala sesuatu mutakhir ) secara
garis besar kitab ini ingin memberikan kontribusi ilmu pengetahuan guna
memahami hakikat ketuhanan dan kesejatian Al Haq, fokus kajian adalah Allah
Azzaa Jallah. Pemikiran beliau adalah yang terpenting dalam Tasawuf adalah
paham Insan Kamil yaitu nuskhah atau kopy Tuhan, seperti di sebutkan dalam
hadist Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
“Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam ‘alaihi salam berdasarkan bentuk-Nya.”
Disebutkan dalam
riwayat Ahmad dan sejumlah ahli hadits,
عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ
“..berdasarkan bentuk
ar-Rahman (Allah).”
Sebagaimana kita
ketahui, Tuhan memiliki seperti hidup, panda, mampu berkehendak, mendengar,
sebagai mana manusia (Adam ) memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses
terjadi setelah itu Tuhan menciptakan subtansi, hawiyah Tuhan di hadapkan
dengan Hawiyah Adam, inniyah Tuhan di sandingkan dengan inniyah, Dzat-Nya di
hadapkan Dzat Adam, dan akhirnya adam
berhadapan dengan Tuhan dalam segala Hakikat-nya, melalui konsep ini kita memahami
bahwa Adam di lihat dari sisi penciptaan-Nya merupakan insan kamil dari segela
kesempurnaanya, sebab dalam dirinya terdapat sifat dan nama illahiyah[3].
Al Jilli berpendapat
bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiyah itu dasar Milik Insan Kamil sebagai
suatu kemestian yang inheren dengan esensinya, sebab sifat-sifat dan nama-nama
tidak memiliki tempat berwujud, melain kepada insan Kamil. Al-Jilli berkata
bahwa duplikasi al-kamal ( kesempurnaan ) adalah sama yang di miliki manusia
bagaikan cermin saling berhadapan., ketidak sempurnaan manusia di sebabkan oleh
hal yang bersifat ardhi[4]. Itulah
pemikiran tentang Jilli mengenai insan kami oleh sebab itu untuk memahami
lanjutkan pemikiran beliau tentu kita harus tau bagaimana riwayat hidup beliau
sehingga melahirkan sebuah pemikiran yaitu insan kamil.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan diatas makalah ini membahas tentang:
1. Bagaimana Riwayat Hidup
Al Jili ?
2. Bagaimana Pengertian
dan Hakikat Insan Kamil ?
3. Bagaimana Proses
Munculnya Insan Kamil ?
4. Bagaimana Kedudukan Insan
Kamil ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Riwayat
Hidup Al Jilli
2. Memahami Pengertian dan
Hakikat Insan Kamil
3. Memahami Proses
Munculnya Insan Kamil
4. Memahami Kedudukan
Insan Kamil
D. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat untuk menambah
pengetahuan bagi penulis serta pembaca. Dengan memahami masalah-masalah yang
berkaitan dengan pemikiran Al Jilli tentang Insan Kamil, sehingga kita mengenal
dan memahami konsep Insan Kamil yang di cetuskan oleh Al Jilli.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Jili
Nama lengkapnya ialah
Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud
al-Jili. Dia mendapat gelar kehormatan "Syeikh" yang biasa dipakai di
awal namanya. Selain itu, dia juga mendapat gelar "qutb al-din"
(poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hierarki sufi. Namanya dinisbatkan
dengan al-Jili, karena dia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher
mengatakan, penisbatan itu ialah kepada "Jil", sebuah desa dalam
distrik Bagdad. Hipotesis Goldziher itu dibantah oleh Nicholson, dengan
mengemukakan ungkapan al-Jili sendiri di dalam salah satu tulisannya yang
menyebutkan bahwa dia mempunyai pertalian darah (nasab) dengan penduduk
Jilan (Kilan), dan berasal dari Bagdad. Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa
dia adalah orang Arab dan sebahagian besar buku yang ditulisnya pun adalah
dalam bahasa Arab[5].
Oleh sebab itu di rasa kurang adil kalau hanya disebut pemikir dari Persia,
karena hari-hari banyak di tanah arab yaitu Yaman, kitab-kitabnya banyak
berbahasa arab
Di mana al-Jili sebenarnya dilahirkan, tidak diketahui dengan
pasti. Tetapi, apabila dilihat dari garis keturunannya, diduga dia lahir di
Bagdad. Karena dia menurut pengakuannya -adalah keturunan Syeikh Abd al-Qadir
al-Jilani (470-561 H.)-, pendiri tarikat Qadiriyah, yaitu turunan dari cucu
perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan Abd al-Qadir al-Jilani telah berdomisili
di Bagdad sejak tahun 478 H. sampai akhir hayatnya, yaitu tahun 561 H. Dengan
demikian, diduga anak keturunannya juga berdomisili di Bagdad. Maka, tentu
tempat lahir al-Jili adalah Bagdad juga[6].
Lebih jauh, apabila diperhatikan pendapat Goldziher
yang menisbatkan nama al-Jili kepada "Jil", kendati dibantah oleh
Nicholson, mungkin dapat juga dibenarkan, karena "Jil" - menurut
keterangan Yaqut - adalah suatu desa dalam distrik Bagdad yang dihuni oleh
imigran yang berasal dari Jilan dan sekitarnya. Di distrik ini diduga al-Jili
dilahirkan. Tahun kelahirannya adalah awal Muharram tahun 767 H. (sekitar
1365-6 M.). Hal ini disepakati oleh semua penulis yang meneliti riwayat hidup
al-Jili, tetapi mereka berbeda pendapat tentang tahun meninggalnya. A.J.
Arberry, al-Taftazani, dan Umar Ridha Kahhalah mencatat bahwa al-Jili meninggal
pada tahun 832 H./1428 M. Tetapi sayang penetapan tahun tersebut tidak
dilengkapi dengan argumentasi yang dapat dijadikan dasar pertimbangan. Manurut
catatan yang terdapat pada halaman depan kitab Al-Insan al-Kamil
(Manusia Sempurna), baik yang diterbitkan oleh Mushtafa al-Babi al-Halabi,
Kairo, maupun yang diterbitkan oleh Dar al-Fikr, Beirut, dia meningal
pada tahun 805 H. (sekitar tahun 1402-3 M.). Selain dari itu ialah perkiraan
bahwa al-Jili meninggal antara tahun 1406 dan 1407M. Dan dia menyebut pula
bahwa tahun 805 H./1426 M[7].
Catatan-catatan yang dikemukakan oleh
para penulis di atas hanya didasarkan atas perkiraan belaka, tanpa didukung
oleh suatu sumber data yang valid (kuat). Agaknya, tahun meninggal al-Jili yang
paling mendekati kebenaran ialah yang dikemukakan oleh Abdullah al-Habasyi,
yang dikutipnya dari naskah tulisan tangan, berjudul Tuhfah al-Zaman fi Zikr
Sadat al-Yaman, ditulis oleh al-Ahdal (w. 855 H.), yaitu bahwa al-Jili
meninggal pada tahun 826 H. (sekitar 1420-1 M.). Dikatakan demikian, karena
hidup al-Ahdal masih semasa dengan al-Jili. Dengan demikian, pendapatnya adalah
pendapat yang paling mendekati kebenaran.
Di mana tempat meninggalnya? tidak pula
ditemukan catatan yang pasti tentang itu. Hanya diperkirakan, dia meninggal di
kota Zabid, karena di sinilah dia telah membina penghidupannya sejak masa
kecil. Oleh karena itu, tidak mungkin
dia meninggalkan kota ini tanpa suatu alasan yang konkrit. Apalagi apabila
dilihat dari situasi dan kondisi kota Zabid pada waktu itu cukup aman,
rakyatnya hidup makmur, dan pendidikanpun maju pesat. Hal demikian tidak
mungkin membuat dia meninggalkan kota itu, walaupun untuk sementara dia pernah
melakukan berbagai perjalanan ke luar negeri.
Kendati al-Jili lahir di Bagdad, sejak
usia kanak-kanak dia telah dibawa oleh orang tuanya berimigrasi ke Yaman. Hal
demikian disebabkan situasi kota Bagdad dan wilayah-wilayah sekitarnya yang
dikuasai oleh bangsa Mongol tidak begitu aman, perekonomian rakyat yang stabil
pada masa Ghazan telah runtuh kembali. Apalagi telah didengar pula berita
tentang keganasan Timur Lenk yang membunuh ribuan penduduk yang tidak berdosa
di beberapa kota yang didudukinya. Lain halnya di Yaman, kondisi dan situasi
sosial politik cukup stabil dan rakyat umumnya hidup dengan perekonomian yang
memadai. Dengan demikian, tidak heran, kalau orang tua al-Jili memilih
alternatif berimigrasi ke Yaman (kota Zabid). Di kota Zabid inilah al-Jili
mendapatkan pendidikan sejak dini. Dalam catatannya, dia menyebutkan bahwa
tahun 779 H. dia mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Isma'il Ibn
Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H.), dan di antara temannya ketika itu ialah Syihab
al-Din Ahmad Raddad (w. 821 H.). Dalam catatannya inilah dia menyebut
gurunya/pembimbing rohaninya itu sebagai seorang yang telah mencapai peringkat
tertinggi dalam hirarki sufi. Tahun 790 H. dia berada di Kusyi, India. Tetapi
sayang, dia tidak menjelaskan apa tujuannya ke India itu dan berapa lama dia di
sana. Dia hanya menceritakan pengalamannya di sana, dikatakannya bahwa dia
menyaksikan orang yang merasa nikmat ketika lehernya terpenggal oleh pedang.
Ketika kedatangannya ke India, tarikat-tarikat yang antara lain Khistiyah,
Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah berkembang pesat, dan demikian pula halnya
dengan tasawuf filosofis Ibn 'Arabi. Oleh sebab itu, agaknya, kunjungannya ke
India itu bukanlah atas motif politik atau ekonomi, karena keadaan sosial
politik, dan ekonomi di India tidak lebih baik dari negeri Yaman, tetapi
kunjungannya adalah dalam rangka memperluas pengalaman dan pengetahuannya di
bidang kesufian. Perkiraan ini diperkuat pula oleh catatannya, seperti tersebut
di atas yang menonjolkan pengungkapan pengalaman mistis (kesufian). Sebelum
sampai ke India dia berhenti di Parsi. Di sanalah dia menulis karyanya Jannah
al-Ma'arif wa Ghayah al-Murid wa al-Ma'arif. Dari sinilah dia bertolak ke
India.
Pada akhir tahun 799 H. dia berkunjung ke
Makkah, dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun, dalam kesempatan itu dia
sempat pula melakukan tukar-pikiran dengan ulama di sana. Hal ini menandakan
bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap
hal-hal lain.
B. Pengertian dan Hakikat
Insan Kamil
Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia
yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal
dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna.
Konsepsi filosofis ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu
Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari
renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada
diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad
(al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Bagian terpenting dari tujuan
sufi adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan
disadari berada dihadirat Tuhan. Keberadaan dihadirat ini diyakini sebagai
kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi dalam mengartikan hadirat
Tuhan itu ternyata terdapat perbedaan konseptual, perbedaan ini bersumber dari
ketidak samaan konsepsi mereka mengenai hakikat tindakan manusia. Sebagian
sufi berpendapat bahwa Allah adalah puncak kecantikan dan kesempurnaan,
sementara yang lain mengartikan sebagai iradhah dan juga disebut ilmu atau
ma’rifah[8].
Seperti diungkap pada bab pendahuluan bahwa Al-Jili
memandang insan kamil sebagai
wadah tajalli
Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap
wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak
yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi
murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu[9].
Di dalam Kesendirian-Nya yang gaib itu esensi
mutlak tidak dapat dipahami dan tidak ada kata-kata yang dapat
menggambarkan-Nya, karena indera, pemikiran, akal, mempunyai kemampuan yang
fana atau tidak pasti, hal yang tidak pasti akan menimbulkan ketidakpastian
pula. Karena itu tidak mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat
mengetahui Zat Mutlak itu Secara pasti. Al-Jili mengatakan, “Sesungguhnya saya
telah berusaha memikirkannya, namun bersama itu pula saya bertambah tidak tahu
tentang Dia.” Ungkapan tersebut senada dengan ucapan Ibn ‘Arabi, “Tidak ada
yang mengetahui Allah Kecuali Allah sendiri[10]”
Dzat Allah Jallah Jalaalah Ibarat diri-Nya,
yang bersama dzat tersebut maujud (ada) Karena Dia berdiri Sendiri. Dia adalah
Zat yang berhak atas nama-nama dan sifat-sifat serta Hawiyah (Ke-Dia-an), yang
dengan itu Dia mencitrakan Diri Nya dalam Segala Citra pada setiap wujud. Dia
bersifat dengan segala sifat sejalan dengan kebutuhan sesuatu yang menghajatkan
persifatan, Wujud-Nya berhak atas segala isim (nama) yang menunjukkan kepada
pemahaman Al Kamaal (kesempurnaan)
eksetensi-Nya. Hakikat kesempurnaan-Nya adalah tidak berakhir dan tidak
dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala
sesuatu adalah berdasarkan hukum kemustahilan bahwa Dia memiliki sifat Jahl
(bodoh)[11].
Untuk kita ketahui bersama bahwasanya Dzatullah
adalah Ghaib al Ahadiyah ( Ghaib dalam
Ke-Esa-an), setiap ibarat dipresentasikan kepada Nya tidak akan mencakup
(menyentuh) pemaknaan yang utuh karena wajah-wajah ibarat memilik multi
persepsi. Maka hakekat kesempurnaan-Nya dan kesejatian diri-Nya yang tidak
dapat dicapai dengan penglihatan mata, adalah berlanskapkan pemahaman ibarat,
adapun dalam pemahaman isyarat, pada realitanya tidaklah demikian, sebab
sesuatu hanya bisa di pahami sejalan dengan akurasi, kelaziman, kepatutan,
kesesuaian atau dengan sesuatu yang berlawanan dengannya. Inti Dzat Nya sama
sekali tidak ada kesamaan, keserupaan, atau berlawanan dari segala wujud
ciptaan-Nya. Dia tidak terkait dengan Istilah-Istilah yang sering dipakai
manusia. Dia tidak ada satupun dari makluk-Nya yang bisa mencapai dengan
penglihatan mata. Al Mukallim (insan yang berbicara) tentang inti (dzat) al Haq
akan diam, Insan yang bergerak akan berhenti, insan yang melihat akan terpejam.
Dia dapat dipersepsikan dengan akal namun daya persepsi ( al Idrak) yang lahir
dari akal dan pemahaman yang sangat terbatas jakauannya, persepsi logika tidak
akan pernah menyentuh Kesejatian diri-Nya. Dia tidak Terkait dengan pelik
pengetahuan yang berdemensi Hudust (ada, karena diadakan), serta demensi Qadim
( ada tidak di dahului oleh sesuatu)[12].
Wujud Mutlak adalah bertajalli secara sempurna
pada semesta alam yang serba-ganda ini. Tajalli terjadi bersamaan dengan
penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan Kodrat-Nya dari tidak menjadi
ada. Menurut Al-Jili, Alam ini bukanlah diciptakan Tuhan dari bahan yang telah
ada, tetapi di ciptakan-Nya dari ketiadaan dalam Ilmu-Nya. Kemudian, wujud alam
yang ada dalam ilmu-Nya, itu dimunculkan dengan dengan kodrat-Nya menjadi alam
emperis. Jadi, penciptaan makluk ialah dari ‘adam (tidak ada) kemudian muncul
dalam ilmu Tuhan, dan seterusnya menjelma alam nyata[13],
Al-Jili
mengatakan: Allah Swt memiliki wujud yang pertama karena kebebasan-Nya yang
mandiri, sementara makluk memiliki wujud yang kedua karena ketergantungan
kepada Allah. Dalam wujud yang pertama makluk ini tidak ada, lalu Tuhan
menciptakannya secara ilahiah dari ketiadaan sejati di dalam ilmu-Nya, kemudian
di jadikan alam ilmi (lingkup pengetahuan ilahi) ke alam nyata, dengan
kodratnya dan penciptaan-Nya akan makluk dari tidak ada, lalu ada dalam ilmu
Tuhan, dan kemudian ada dalam alam nyata.[14]
Penciptaaan itu dikatakan dari tidak ada,
karena sebelum alam ini ada didalam ilmu Tuhan, ia belum ada sama sekali, yang ada
pada ketika itu hanya Zat Tuhan satu-satunya. Oleh karena itu jika ada terdapat
wujud lain selain dari zat-Nya, ini berarti ada yang menyamai Tuhan dalam
keqadimannya-Nya. Mahasuci Tuhan dari hal demikian[15].
Eksistensi alam ini, merupakan wadah tajalli Ilahi.
Akan tetapi empiris yang di tandai dengan kesebergandaan ini berada dalam wujud
yang ditandai dengan kesebergandaan ini berada dalam wujud yang terpecah
sehingga tidak dapat menampung citra
Tuhan secara utuh, bagian alam ini merupakan wadah tajalli dari bagian-bagian
tertentu dari citra Tuhan. Tuhan baru
dapat melihat citra diri-Nya secara paripurna pada Adam (manusia), yakni Insan
Kamil. Jadi, insan kamil merupakan Nuskhah (kopi) Tuhan, seperti hadist yang telah
di ungkap dalam pendahuluan.
Jadi dari satu sisi, insan kamil merupakan
wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara di sisi lain, ia merupakan
miniatur segenap jagat raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas
individual dari alam semesta baik alam fisika maupun metafisika. Hati insan
kamil berpadanan dengan arasy Tuhan; “ke-Aku-an”-nya sepadan dengan kursi
Tuhan; peringkat rohaninya dengan sidratul muntaha; akalnya dengan pena tinggi;
jiwanya dengan lauh mahfuz; tabiat dengan elemen-elemen; kemampuan dengan
hayula; tubuhnya dengan haba dan lain-lain[16].
Selain itu, insan kamil adalah kutub yang
diedari oleh segenap alam wujud dari awal hingga akhirnya dan ia hanya satu,
sejak permulaan sampai akhirnya akan tetapi ia muncul beragam bentuk dan
menampakkan dirinya dalam berbagai kultus, ia di panggil sesuai dengan
bentuknya (manusia yang menjadi perwujudannya), tidak dipanggil selain itu. Ia
muncul dalam setiap zaman dalam bentuk sempurna. Dari segi lahir ia
berkedudukan sebagai khalifah dan dari segi batin sebagai hakikat dan segalanya[17].
Al-Jili membagai insan kamil atas tiga
tingkatan. Tingkatan pertama disebutnya dengan tingkatan permulaan (al
bidayah), pada tingkatan ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma
dan sifat ilahi pada dirinya. Tingkat
kedua ialah tingkat menengah (al-tawassuth). Pada tingkatan ini insan kamil
sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih
Tuhan (Al-Haqa’iq al-rahmaniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah
meningkatkan pengetauan biasa, karena sebagian dari hal-hal gaib telah
dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat ketiga
ialah tingkat terakhir (al-khitam). Pada tingkat ini insan kamil telah
merealisasikan citra Tuhan secara utuh.
Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan
takdir. Dengan demikian, pada diri insan kamil sering terjadi yang luarbiasa[18].
C. Proses Munculnya
Insan Kamil
Al-jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam
proses munculnya insan kamil, dalam teori tajalli insan kamil muncul sebagai
sintesis dari makrokosmos yang permanen dan aktual serta sekaligus sebagai
cerminan citra Tuhan secara paripurna, sementara dalam teori taraqqi adalah
muncul sebagai makluk peringkat tertinggi di antara makluk yang ada dalam
menapaki maqamat kerohanian[19].
Menurut Al-Jili, tajalli ilahi yang berlangsung
secara terus menerus pada alam semesta terdiri lima martabat, masing-masing
martabat itu adalah: pertama, martabat uluhiyah, kedua martabat ahadiyah,
ketiga, martabat wahidyah, keempat, martabat, martabat rahmaniyah, dan yang
kelima, martabat rubibiyah. Martabat uluhiyah merupakan esensi (quiddity) dari
zat primaordial, yang menjadi sumber dari wujud dan yang ‘adam. Yang kadim dan
yang hadist, al haqq, dan al-khalq. Tajalli pada peringkat ini baru berupa
“pemberian hak kepada yang berhak”, yakni memberikan wujud kepada
martabat-martabatnya di bawahnya.
Hubungan esensi dari realitas zat dengan zat itu sendiri, agaknya sama dengan
hubungan antara molekul-molekul zat air (H2O) dan zat air. Al-Jili
mengumpukannya dengan hubungan lembagai yang ada di dalam biji korma dan pohon
korma. Lembaga yang ada di dalam bji
kurma sekalipun tidak kelihatan , merupaka inti yang bakal menumbuhkan sebatang
pohon kurma. Akan tetapi, tamsilan tersebutdan yang di umpakan Al-Jili belum
dapat dikatakan sempurna dalam menggambarkan martabat di bawahnya[20].
Dikatakan Al-Jili, bahwa martabat uluhiyah
merupakan martabat tertinggi dalam urutan tajalli Ilahi, karena di dalamnya
tercakup segenap realitas dari segala sesuatu. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan tajalli berikutnya, martabat uluhiyah merupakan sumber primer dari
segalanya, baik yang wujud maupun yang ‘adam. Dari itu tidak dapat di sebut
sebagai wujud ataupin ‘adam, tetapi merupakan ensensi dari realitas yang tidak
terbaatas. Sehingga, mustahi dapat di pikir oleh manusia yang serba terbatas.
Dari martabat uluhiyah muncul martabat
ahadiyah, yang merupakan sebutn dari zat murni , tanpa nama, tan sifat, dan
tida ada suatu gejala apa pun yang muncul darinya.. zat murni itu sendiri
merupakan pengungkapan diri wujud mutlak, yang terlepas dari segala kaitan,
relasi, dan dari segi apapun. Zat murni itu bukan berada di luar wujud mutlak,
tetapi merupan totalitas dari wujud mutlak itu sendiri. Zat Tuhan pada taraf ini masih merupakan “gaib
mutlak” yang tidak dapat diketahui karena Dia belum mempunyai kaitan dengan
relasi dengan yang lain. Karena Ia tidak dicapai dengan ilmu penbgetahuan, maka
tidak ada kalimat ataupun kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dengan
demikian kata Vir Valiuddin, ahadiyah merupakan suatu keaadaan zat Tuhan Tanpa
Warna, akibatanya zat Tuhan pada peringkat ini tidak mungkin di capai oleh
pengetahua. Acuan mengenai ini terdapat dalam alquran “Dia mengetahui apa yang
ada di hadapan dan apa yang ada dibelakang mereka, tetapi ilmu mereka tidak
dapat meliput-Nya.
Di bawah martabat ahadiyah terdapat martabat wahidiyah, yakni
tajalli zat pada sifat . degan demikian, pada zat murni itu terdapat kualitas
(sifat). Sifat-sifat itulah kata Al-Jili yang mengantarkan kita untuk
mengetahui keaadaan zat. Dari kelihatan, bahwa sifat berbeda dengan zat. Akan
tetapi hal itu tidak akan senantiasa demikian , karena sifat dapat juga
mengambil posisi sebagain ‘ayn zat. Perbedaan antara zat dan sifat dapat di
pertahankan, kata iqbal hanya sejauh mana sifat itu dapat termanifestasikan
secara mandiri, perbedaan karena ada disintegrasi. Ambil contoh, sifat dermawan.
Sifat dermawan itu sendiri tidak diketahui, yang di ketahui hanya efeknya. Efek
itu merupakan manifestasi dari sifat tersebut. Jika sifat itu dapat diungkapkan
dalam dunia riil, maka pemisahannya dari zat
tentu mungkin pula. Bila demikian halnya , tentu sifat tidak identik
dengan zat. Hal demikian berbeda dengan sifat-sifat esensi Tuhan, yang tidak
mungking dapat dipisahkan dari zat dari sisi manapun. Misalnya Esa, tidak
mungkin dapat dipisahkan dan dibedakan dari zat Tuhan. [21]
Kalau pada martabat wahidayah Tuhan
bertajjalipada sifat-sifat dan asma-Nya sehingga melahirkan sejumlah realitas
yang berupa potensi-potensi, maka pada martabat rahmaniyah Tuhan bertajalli
pada ralitas-realitas asma dan sifat, dan dengan kata kun (jadilah), muncullah
reaitas-reaitas potensial tadi menjadi wujud aktual, yakni alam semseta.
Penciptaan alam inilah kata Al-Jili sebagai permulaan rahmat yang dicurahkan
Allah. bersama penciptaan alam Tuhan pun bertajalli padanya. Maka tercerminlah
kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dan partikel alam, namun Dia tidak
terbilang dengan terbilangnya wadah terjallitersebut, tetapi tetap Esa (wahid)
dalam segenap wadah terjalli-Nya, Esa ( ahad), sesuai dengan kehendak zat-Nya,
sementara Ia sering tidak terbagi-bagi, segala sesuatu yang ada di alam ini adalah kesempurnaan-Nya[22].
Pada martabat rahmaniya inilah Tuhan, dengan
segenap asma dan sifat-Nya, bertajalli pada alam semseta secara global, baik
asma dan sifat-sifat zatnya, seperti al-Ahad, Al Wahid, Al-Shamad, dan
lain-lain maupun asma dan sifat-sifat yang mempunya ta’alluq (kaitan) dengan
makhluk, seperti al Qadir, Al-Aim, dan Al-sami. Lalu martabat rububiyah asma
dan sifat-sifat yang terkat dengan makhluk memanifestasikan dirinya dri secara
rinci pada peringkat-peringkat dan bagian-bagian alam tersebut[23].
Kemudian, dibawah martabat rububiyah masing-masing asma dan
sifat Ilahi yang tidak terbatas itu menampakkan diri pada alam semseta yang
terbatas dan terpilah-pilah. Karena itu, asam dan sifat-sifat itu tidak
kelihatansecara utuh, tetapi terpilah-pilah pada bagian-bagian dari alam ini.
Asma dan sifat-sifat itu baru terpadu secara utuh dari paripurna pada insan
kamil, karena dia ciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya. Oleh karena itu, jika
dikatan Hayy (yang hidup), Alim(Yang Maha Mengetahui), Qadir (Yang Mahakuasa),
Murid ( Maha Berkehendak), Sami ( Yang Maha Mendengar), Bashir ( Yang Maha
Melihat ), Mutakallimin ( Yang Berbicara), demikian pula halnya dengan insan
kamil. Perbedaannya hanya pada kemutlakan dan keterbatasn, karena ia sebagai
asal, sementara bayang ada pada insan kamil adalah terbatas, karena manusai
hanya “dipinjami” asma dan sifat-sifat tersebut[24].
Al –Jili membagai tajalli Ilahi itu atas empat
Ø Pertama,
tajalli perbuatan-perbuatan (tajalli af’al)
Ø Kedua,
tajalli nama-nama (tajalli al asma)
Ø Ketiga,
tajalli sifat-sifat (tajalli al-shifat)
Ø Keempat,
Tajalli zat (tajalli al-dzat)[25]
Insan kamil, seperti telah disebutkan , bukan
semata-mata, sebagai sentesis dari tajalli Ilahi, tetapi juga merupakan hasil
upaya manusia dalam meningkatkan martabat kerohaniannya. Upaya peningkatan
martabat kerohaniannya itu, menurut Al-Jili merupakan proses kembali ke hadirat
Ilahi dengan menyusuri tajali-tajali di atas sehingga samapi kepada Zat Yang
Mutlak.
Menurut Al-Jili, untuk mencapai tingkat-tingkat
tajalli di atas, dalam rangka mencapai tingkat insan kamil, orang harus mulai
dengan pengamalan rukun islam secara baik, yang meliputi ikrar kaimat
syahadat, mendirikan shalat, membayar
zakat, melaksanakan puasa dan
melaksanakan haji. Semua itu harus dilakukan secara sempurna, baik lahir dan
batin. Dari segi lahir, hendaknyalah yang dilakukan itu sesuai dengan
petunjuk-petunjuk styariat, sematara dari segi batin, makna-makna yang
terkandung di dalam amal-amal itu harus dihayati secara baik.
Di samping itu, sufi harus menyakini rukun
iman: yakin akan adanya Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasiul-Nya, hari akhir, dan qadar.
Keyakinan terhadap semua yang gaib itu haruslah secara mantap seperti menyakini
apa yang ditangkap oleh indera. Karena iman adalah cahaya dari cahaya-cahaya
Ilahi, maka melalui cahaya itu sufi dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat
oleh mata kepala.
Selanjutnya, bertolak dari islam dan iman, sufi
memasuki tingkat as-shalah (kesalehan) dengan senantiasa melaksnakan ibadat
kepada Allah atas Dasar Khwf(takut/cemas) dan raja’ (Harap), Setelah itu, sufi
memasuki tingkat al-ihsan ( kebajikan) dengan menempuh tujuh maqam, yaitu:
tobat, inabah (tobat dari kelalaian terthadap Tuhan menuju kondisi yang
senantiasa mengingatNya), zuhud, tawakkal, rels, tawid(tawakal sebelum, sedang
dan sesudah berusaha), dan ikhlas dalam segala hal. Pada maqam tawal, sufi
telahg memasuki tingka awal tajalli Tuhan yang disebut diatas, yakni tajalli
al-af’al, dimana pada tingakt ini sufi disinari perbuatan-perbuatan Tuhan.
Bertolak dari islam, iman kesalehan dan ihsan
sufi memasuki tingkat al-syahadah ( penyaksian). Disini sufi harus menguatkan
kemauan dalam cinta kepada Allah, mengingat, dan melawan hawa nafsu. Setelah itu, ia kakan samapi pada tingkat
al-shiddiqiyah (kebenaran). Pada peringkat ini sufi mencapai tingkat makrifat
dalam tiga bentuk’ilm yakin; kedua, ‘ayn al Yaqin, dan yang ketiga, haaq al
yaqin. Dengan demikian, sufi telah memasuki tingkat-tingkat tajalli yang telah
disebutkan diatas, pada tingkat ‘ilm
yaqin, sufi sufi disinar oleh sifat-sifat Tuhan, pada tingkat haqq al-yaqinsufi
disinari oleh zat Tuhan, dan pada tingakt haqq al-yaqin sufi disinari oleh zat
Tuhan. Dengan demikian diri sufi sirna (fana) di dalam asma, sifat-sifat, zat
tuhan. Akhirnya sufi sampai pada tingkat qurbah, yakni berada sedekat mungkin disisi
Allah. Dengan berada sedekat-dekatnya di sisi Allah, maka pada diri sufi telah
terpantul sifat-sifat dan asma Tuhan secara jelas. Ketika itu tercapailah
tingkat insan kamil.
Dengan demikian, jelas bahwa insan kamil
merupakan produk akhir dari proses tajalli Tuhan pada alam semseta, yang
mecerminta citra Ilahi yang utuh. Akan tetapi, hal demikian baru dapat tercapai
setelah manusia mengembangkan dirinyadengan menyerapkan sifat-sifat dan Asma
Allah sebanyak-banyaknya. Dengan menyerap sifat-sifat dan asma Allah
sebanyak-banyaknya itu mengakibatkan terjadi transformasi spritual yang
mengubah kepribadian sufi dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih
tinggi. Sehingga samapi pada tingkat tertinggi, yakni tingkat insan kamil. ‘
D. Kedudukan
Insan Kamil
Al-Jili memandang Insan Kamil berkedudukan
sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu adalah karena pada insan kamil terdapat
kemampuan-kemapuan yang melebihi kemampuan manusia kebanyakan, bagi dari segi
kepribadian, maun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain karena pada insan
kamil terealisasi segenap asama dan sifat-sifat secara utuh. Jadi ketinggian
martabat insan kamil. Secara ontologis, ialah karena pada dirinya tercermin
asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh, sehingga apabila Tuhan ingin Melihat
citra diri-Nya. Ia pun melihat kepada insan kamil[26].
Insan
kamil menduduki jabatan ma’nawiyah seperti dikatan ibn Arabi, lalu apabila
sebagian sifat-sifat dan asma itu di aplikasikan di tengah-tengah masyarakat,
maka insan kamil pun akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di tengah-tengah
masyarakat itu. Atas dasar kelebihan itu masyarakat berkenan menjadikannya
khalifah. Khalifah dalam bentuk ini yang di sebut oleh ibn Arabi dengan
Khalifah Zhahiriyah. Akan tetapi, jabatan ini tidak mesti tercapai, karena
bukan merupakan kedudukan permanen.
Kedudukan yang permanen ialah sebagai khalifah ma’nawiyah.[27]
Al-Jili mempunyai pandangan tentang kedudukan
Insan Kamil sebagai khalifah Tuhan yang menjadi asas, penyebab, dan pelestarian
eksistensi dan alam semseta. Lebih jauh, Al-Jili menguatkan kedudukan itu
dengan mengemukakan alasan bahwa hanya pada diri manusia terdapat tujuh daya
rohaniah yang dapatmembuat alam ini menjadi eksis dan lestari. Ketujuh daya itu
merupakan aspek-aspek dari nur Muhammad. Daya itu adalah hati (qalb), akal
(aql), estimasi(wahm), meditasi (himmah), pikiran (fikr)fantasi (khyal), dan
jiwa (naf). Dengan tujuh saya rohaniah itu insan kamil yang merupakan
identifikasi hakikat. Muhammad menjadi Alam ini tetap eksis dan lestari. [28]
Kalau pada aspek ontologis insan kamil
berkedudukan sebagai khalifahTuhan, maka pada aspek mistis, insan kamil berkedudukan sebagai wali
tertinggi dalam herarki spritual kaum sufi. Menurut Al-Jili, kewalian adalah
suatu bentuk hubungan dekat ( dan
sekaligus pengusaan) al-Haqq yang maha suci lagi mahatinggi terhadap hamba-Nya,
dengan memanifestasikan asam dan sifat asama dan sifat-sifat-Nya atas hamba-Nya itu, baik dari segi pengetahuan,
entitas, hal, kedudukan wali itu tercapai setelah sufi samapi pada martabat
shiddiqiyah dan qurbah. Pada martabat shiddiqiyah sufi memasuki tingkatan ‘ilm al-yaqin, ‘ayn
al-yaqin, haqq al-yaqin, , pada tingkat ‘ilm al-yaqin sufi disinari oleh asma
Tuhan. Maka tingkat ini disebut tajalli al-asma. Pada tingkat ‘ayn al-yaqin
disinari oleh sifat-sifat Tuhan. Maka
tingkatg ini di sebut tajalli al-shifat. Sedangkan pada tingakat haqq al yaqin,
sufi disinari oleh zat Tuhan. Yang disebut tajalli al dzat. Dengan demikian,
diri sufi srina ( fana’) dalam asam. Sifat-sifat, dzat Tuham. Pada
tingkatan-tingkatan demikian kesasdaran sufi tenggalam di dalam kedasaran yang
Mutlak. Kemudian, pada martabat qurbah
sufi telah merasa dirinya sangat dekat dengan Tuhan, berada di hadirat Tuhan,
sehingga ia merasa seakan-akan pada dirinya terjelma al-haqq[29].
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Al Jilli ialah Abd
al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud
al-Jili. Dia mendapat gelar kehormatan "Syeikh" yang biasa dipakai di
awal namanya. Selain itu, dia juga mendapat gelar "qutb al-din"
(poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hierarki sufi. Namanya dinisbatkan
dengan al-Jili, karena dia berasal dari Jilan.
Meninggal al-Jili yang
paling mendekati kebenaran ialah yang dikemukakan oleh Abdullah al-Habasyi,
yang dikutipnya dari naskah tulisan tangan, berjudul Tuhfah al-Zaman fi Zikr
Sadat al-Yaman, ditulis oleh al-Ahdal (w. 855 H.), yaitu bahwa al-Jili
meninggal pada tahun 826 H. (sekitar 1420-1 M.). Dikatakan demikian, karena
hidup al-Ahdal masih semasa dengan al-Jili. Dengan demikian, pendapatnya adalah
pendapat yang paling mendekati kebenaran.
Definisi Insan kamil adalah konsep manusia paripurna.
Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa
dimensi. Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal
dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna.
Konsepsi filosofis ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu
Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari
renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Di dalam proses insan kamil Al-Jili memandang teori tajalli dan taraqqi dalam proses
munculnya insan kamil, dalam teoru tajalli insan kamil muncul sebagai sintesis
dari makrokosmos yang permanen dan aktual serta sekaligus sebagai cerminan
citra Tuhan secara paripurna, sementara dalam teori taraqqi adalah muncul
sebagai makluk peringkat tertinggi di antara makluk yang ada dalam menapaki
maqamat kerohanian.
Kedudukan insan kamil
dapat di lihat dari dua aspek yaiu aspek ontologis dan aspek mistis, dalam
aspek ontologis di pandang sebagai penyebab dan pelestari eksistensi alam
semseta, sedangkan pada aspek mistis adalah insan kamil dipandang sebagai pusat
kendaraan semseta,
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
El Majid,
Misbah dengan judul, Insan Kamil ikhatiar memahami kesejatian manusia dengan
sang khaliq hingga akhir zaman, Surabaya: Pustaka Hikamah Perdana, 2005
Fauzan,
Uzair, Tasawuf Cinta Studi Atas Tiga Sufi: Ibn Abi Al-Khair, Al-Jili, Ibn
Faridh, Bandung: Mizan, 2003
Siregar , Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002
Solihin,
Muhammad, Tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: CV Pustaka Setia, 2003
.
[1] Yunasril Ali, Manusia
Citra Ilahi, ( Jakarta: Paramadina, 1997), h.111.
[2] Reynold Alleyne Nicholson,
Studiys in islamic Mysticism, di terjemahkan oleh Uzair Fauzan dengan
judul, Tasawuf Cinta Studi Atas Tiga
Sufi: Ibn Abi Al-Khair, Al-Jili, Ibn Faridh, (Bandung: Mizan, 2003), h.
115.
[3] M. Solihin, Tokoh Sufi
Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), h. 183.
[4] Ibid, h. 184.
[5] Yunasril Ali, Manusia
Citra Ilahi, op.cit h. 31.
[6] Ibid, h. 32.
[7] Ibid, h. 33
[8] ] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hal 124
[9] Yunasril Ali, Manusia
Citra Ilahi, loc.it.
[10] Ibid, h. 112.
[11] Abdul Karim Ibnu Ibrahim
Al Jaili, AL Insan Kamil Fil Ma'rifah Al Awahir Wa Al Awa'il, di
terjemahkan oleh Misbah El Majid dengan judul, Insan Kamil ikhatiar memahami
kesejatian manusia dengan sang khaliq hingga akhir zaman, (Surabaya:
Pustaka Hikamah Perdana, 2005), h. 15.
[12] Ibid, 16.
[13] Yunasril Ali, Manusia
Citra Ilahi, op.cit, h. 112
[14] Ibid, h. 113
[16] Ibid, h. 119
[17] Ibid.
[18] Ibid, h. 122
[19] Ibid, h.128.
[20] Ibid, h. 129.
[21] Ibid, h. 135
[22] Ibid. h. 140
[23] Ibid, h. 141.
[24] Ibid, h. 142.
[25] Ibid, h. 143.
[26] Ibid, h. 147;
[27] Ibid, h. 148.
[28] Ibid, h. 154.
[29] Ibid, h. 159.
Posting Komentar