0

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Manusia tercipta pada hakikatnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,  manusia selalu ingin tahu yang tanpak kongret dan nyata, segala yang nampak dan di ketahui akan menjadi sebuah pengetahuan. Pembuktian secara dengan alat indra memberikan pengetehuan tentang kebenaran, namun pengalaman melalui indra belum cukup untuk menghasilkan sebuah pengetahuan. Pengalaman itu harus harus melalui proses ilmiah lebih lanjut yang di metodologis. Di dalam proses metodologis di perlukan prinsip epistomologi yang mengkaji lebih dalam tentang pengetahuan. Epistemologi mencakup beberapa hal seperti batas pengetahuan, sumber pengetahuan serta kriteria kebenaran.
Pengetahuan yang di sempurnakan maka di sebutlah dengan ilmu, ilmu memiliki dua macam objek material dan objek formal[1],  Ilmu juga  sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find), atau pencarian (search). Oleh karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia ilmu kini dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.
Pembuktian pengetahuan diperlukan untuk keabsahan suatu teori pengetahuan. Kita dapat melihat perkembangan pengetahuan lewat suatu Paradigma Thomas Kuhn. Thomas Kuhn berfikir bahwa dalam kenyataannya teori utama dalam ilmu pengetahuan alam tidak dapat difalsifikasi secara langsung. Ia merumuskan teori baru yang didasarkan pada penelitian historis bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan perkembangan dalam sejarahnya. Ilmu pengetahuan tidak secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika ada bukti – bukti yang berlawanan dengan teori tersebut, melainkan perubahan tersebut terjadi melalui proses yang bersifat gradual (bertahap) dan kumulatif (penyimpulan).

B.  Rumusan Masalah
Adapun Masalah yang di dalam makalah ini adalah
1.    Bagaimana Heirarki ilmu ?
2.    Bagaimana Klasifikasi  ilmu menurut Thomas Kuhn ?

C.  Tujuan Makalah
1.    Untuk mengetahui tentang Heirarki Ilmu
2.    Untuk mengetahui  dan memahami Klasifikasi  ilmu menurut Thomas S. Kuhn



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hierarki Ilmu
Hierarki ilmu merupakan urutan atau tingkatan dari ilmu. Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarkis ilmu-ilmu metodologis, ontologism dan etis.  Sebagaimana telah dikemukakan suatu disiplin ilmu terbagi dalam sejumlah specialty yang dalam bahasa Indonesia disebut cabang ilmu. Cabang ilmu atau specialty pada umumnya juga telah tumbuh cukup luas sehingga dapat dibagi lebih terperinci menjadi beberapa ranting ilmu. Kadang-kadang sesuatu ranting ilmu yang cukup pesat pertumbuhannya bisa mempunyai perincian lebih lanjut disebut tangkai ilmu. Jadi, dalam ruang lingkup sesuatu jenis ilmu yang bercorak teoritis atau praktis terdapat urutan tata jenjang yang merupakan hierarki ilmu sebagai berikut[2]:

Jenis Ilmu


Rumpun Ilmu

 




Cabang Ilmu

 




Tangkai Ilmu




B.  Klasifikasi Ilmu menurut Thomas S. Kuhn

Klasifikasi atau penggolongan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan atau perubahan sesuai dengan semangat zaman. Pemunculan suatu cabang ilmu baru terjadi karena beberapa faktor. Bert Hoselitz[3] nyebut adanya tiga hal sebagai berikut. Pembentukan suatu disiplin khusus yang baru dalam bidang ilmu manapun berkaiatn dengan tiga syarat. Pertama, yaitu eksistensi dan pengenalan seperangkat problem-problem baru yang menarik perhatian beberapa penyelidik. Kedua, yaitu pengumpulan sejumlah cukup data yang akan memungkinkan penggerapan generalisasi-generalisasi  yang cukup luas lingkupnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum problem-problem yang sedang diselidiki. Ketiga, yaitu pencapaian pengakuan resmi atau institusional terhadap disiplin batu itu. Dengan berkembangnya demikian banyak cabang ilmu khusus, timbullah masalah pokok tentang penggolongan ilmu-ilmu itu atau pembagiannya.
Klasifikasi merupakan pengaturan yang sistematik untuk menegaskan definisi sesuatu cabang ilmu, menentukan batas-batasnya dan menjelaskan saling hubungannya dengan cabang-cabang yang lain. Dalam makalah ini penulis menguraikan Klasifikasi ilmu menurut Thomas Kuhn. Adapun pengklasifikasi sebagai berikut:

1.    Sains yang Normal ( Normal Sceince )
Sains yang normal berarti riset yang dengan yang teguh berdasarkan atas satu atau lebih dalam pencapai ilmiah yang lalu, pencapaian oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek selanjutnya. Paradigma menurut Pandangan Thomas S. Kuhn bermaksud  mengemukakan beberapa  contoh praktek nyata yang diterima, contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan, intrument tertentu pada riset ilmiah, tradisi-tradisi inilah di lukiskan oleh sejarahwan dengen judul-judul  “Astronomi Ptolemaens” (atau, copernicus), “dinamika Aristoteles”dan “optika korpuskular” dan sebagainya[4].
Dengan ada paradigma bersama dalam sebuah riset maka orang akan jarang dalam prakteknya membangkitkan perselisihan yang jelas dalam berbagai fundamentalis, serta pada prakteknya juga akan terjadi kerikatan kaidah-kaidah standar-standar praktek ilmiah yang sama. Komitmen tersebut merupukan konsesus yang jelas dihasilkannya merupakan prasyarat bagi sains  yang normal, yaitu bagi penciptaan dan kesinambungan  tradisi riset tertentu[5]
paradigma adalah model atau pola yang diterima, dengan aspek makna nya itu telah memungkinkan Thomas Kuhn karena tidak memiliki kata yang lebih baik, untuk mengambil paradigma bagi keperluan sendiri disini. akan tetapi , tidak lama lagi akan jelas bahwa pengertian model dan pola memungkinkan pengambilan paradigma itu tidak sama benar dengan pengertian biasa digunakan untuk mendefinisikan paradigma dalam tata bahasa misalnya amo, amas, dan amat adalah paradigma karena memperlihatkan pola yang digunakan dalam menasrifkan sejumlah verbal latin misalkan dalam menghasil  laodu, laudas dan laudat. dalam penerapan baku ini paradigma berfungsi untuk memperbolehkan replika contoh-contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat menggantikannya. di pihak lain, dalam sebuah sains paradigma jarang merupakan objek bagi replika.  akan tetap , seperti keputusan yudikatif dan diterima dalam hukum tak tertulis ia adalah objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru[6] .
untuk mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi , kita harus ingat betapa sangat terbatas sesuatu paradigma, baik dan cakupannya maupun dalam ketepatannya , pada saat pertama kali muncul paradigma memperoleh status karena lebih berhasil daripada saingannya dalam memecahkan beberapa masalah yang mulai diakui oleh kelompok Pempraktek bahwa masalah masalah itu rawan. namun, untuk berhasil bukanlah harus berhasil dengan sempurna dalam menangani satu masalah atau sangat berhasil dalam menangani sejumlah besar masalah keberhasilan.  sebuah paradigma apakah analisis aristoteles tentang gerak, perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, skema penerapan di Lavoiseoner kesetimbangan, atau matematisasi Maxwell dalam medan elektronik elektromagnet pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan dalam contoh-contoh tulisan yang belum lengkap. Sains yang  normal terdiri atas perwudujudan janji, perwujudun yang mencapai dengan pengetahuan tentang fakta-fakta yang  oleh paradigma di perlihatkan sebagai sangat membuka pikiran, dengan tingkat kecocokan antara fakta-fakta itu dengan prakiraan paradigma dan dengan artikulasi lebih lanjut tentang paradigma itu sendiri.[7]
 menurut Thomas Kuhn beberapa orang yang bukan benar benar pemraktek sains yang matang menyadari betapa banyaknya sebuah karya  belum diselesaikan oleh paradigma atau sebuah karya itu dapat membuktikan betapa mempesonanya dalam pelaksanaannya. Dan hal ikhwal ini perlu dimengerti.  operasi pembersihan yaitu menyelesaikan karya karya yang tertinggal itulah yang melibatkan banyak keilmuan selama karir mereka . itulah yang merupakan apa yang disebut Thomas Kuhn sains yang normal. jika diteliti dengan cermat apakah secara historis atau di dalam laboratorium kontemporer kegiatan itu tampaknya merupakan upaya untuk melaksanakan alam masuk ke dalam kontak yang telah dibentuk lebih dulu dan relatif tidak flexsibel yang disediakan oleh paradigma. tidak ada bagian dari sasaran sains yang normal yang akan menimbulkan jenis jenis gejala baru dan memang , gejala gejala yang mungkin tidak akan cocok dengan konsep kotak itu seringkali tidak tampak sama sekali . juga para ilmuan biasanya tidak bertujuan menciptakan teori teori baru , dan mereka acapkali tidak toleran terhadap ciri ciri baru yang diciptakan oleh orang lain. sebaliknya , riset yang ditujukan kepada artikulasi gejala gejala dan teori teori disajikan oleh paradigma[8].
Oleh sebab itu Thomas Kuhn berpendapat hal tersebut merupakan  cacat-cacatnya. bidang bidang fisik diselidiki oleh sains normal , tentu saja , sangat kecil kegiatan yang dibahas sekarang telah secara drastis membatasi pandangan. akan tetapi , pembatasan-pembatasan itu yang lahir dari keyakinan akan suatu paradigma ternyata esensial bagi perkembangan sains dengan mempusatkan perhatian kepada sederetan kecil masalah yang relatif isoterik , paradigma itu memaksa para ilmuan untuk menyelidiki satu bagian dari alam secara rinci dan mendalam jika tidak demikian tidak bisa dibayangkan . dan sain yang normal memiliki mekanisme yang melekat, yang memastikan pelanggaran pembatasan yang mengikat riset manakala paradigma yang menurunkannya itu tidak lagi berfungsi secara efektif . pada saat itu para ilmuan mulai berlaku lain, dan sifat masalah masalah riset mereka berubah namun sementara itu, dalam periode ketika paradigma itu berhasil, Profesi telah memecahkan masalah masalah yang hampir tidak dapat dibayangkan oleh anggotanya dan tidak akan pernah dilakukan tampat komitmen dengan paradigma itu dan sekurang kurangnya bagian dari pencapai itu selalu ternyata permanen[9].
Thomas Kuhn juga mengemukakan bahwa Sains Normal pemecah teka-teki, menurut beliau teka teki istilah teka teki dan pemecah teka teki menerangkan beberapa dari tema-tema yang menjadi semakin menonjol dalam keseluruhan makna baku yang digunakan ketika adalah kategori khusus dari masalah -masalah yang dapat digunakan untuk menguji kelihaian atau keterampilan dalam pemecahan[10].




Dari paparan diatas dapat di simpulkan bahwa Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma menetapkan standard-standar pekerjaan yang sah di dalam lingkungan yang dikuasai ilmu itu. Menurut Kuhn, eksistensi suatu paradigma yang mampu mendukung tradisi ilmu biasa merupakan ciri yang membedakan ilmu dengan non ilmu.
Normal sains melibatkan usaha-usaha terperinci untuk menjabarkan suatu paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam. Suatu paradigma akan selalu secukupnya, tidak terlalu ketat dan mempunyai akhir yang selalu terbuka sehingga menimbulkan banyak macam pekerjaan untuk ditangani. Kuhn memandang sain (ilmu) biasa sebagai aktivitas pemecahan teka-teki yang dibimbing aturan-aturan suatu paradigma. Teka-teki itu bisa teoritis maupun eksperimental.

2.    Anomali
Sains yang normal yakni kegiatan pemecahan masalah yang baru di  teliti adalah kegiatan yang sangat kumulatif,  benar-benar berhasil dan tujuannya. Perluasan secara tetap ruang lingkup dan presisi pengetahuan sains. Dalam segala hal ini ia dengan presisi yang tinggi cocok dengan kebanyakan citra yang biasanya tentang karya ilmiah. Namun , satu produk standar dari kegiatan ilmiah tidak ada. Sains yang normal tidak ditujukan  kepada pembaruan-pembaruan fakta atau teori, dan jika  berhasil  tidak menemukan hal tersebut meskipun demikian, gejala-gejala yang baru dan tak terduga itu berulang kali tersikap oleh riset  ilmiah. Dan teori-teori  baru yang radikal terus menerus diciptakan oleh para ilmuan. Bahkan sejarah mengemukakan bahwa kegiatan ilmu ini telah mengemukakan teknik yang kekuatannya tidak tiada banding untuk menghasilkan kejutan-kejutan jenis ini.  Jika krakteristik sains ini akan diselaraskan dengan apa yang  dikatakan, maka riset mengikuti paradigma harus merupakan cara yang sangat efektif untuk mendorong perubahan paradigma.  Itulah yang dilakukan oleh kebaruan-kebaruan fakta dan teori fundamental.  Jika dihasilkan  secara ceroboh oleh suatu permainan yang dilakukan di bawah satu perangkat peraturan,  maka asimilasi menuntut perluasan perangkat  yang lain. Setelah menjadi bagian dari sains, kegiatan itu  setidak-tidaknya kegiatan para sepesialis yang di dalam bidang yang tertentu terdapat hal-hal yang baru itu,  tidak akan persis sama[11].
Thomas kuhn mengemukakan terjadi anomali karena petama mengingat penemuan penemuan baru kebaruan kemudian penciptaan-penciptaan kebaruan-kebaruan teori. Perbedaan antara penemuan (discovery) dan penciptaan atau antara fakta dan teori, bagaimana pun akan segera terpenting dan segera terbukti bahwa sangat artifisial.  Penemuan-penemuan bukanlah peristiwa yang terasing,  melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang  yang berulang secara teratur[12].
Penemuan diawali dengan kesadaran anomali yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara telah melanggar pengharapannya yang didorong oleh paradigma ilmu sains yang normal. Kemudian ia berelanjut dengan eksplorasi sedikit-banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan berakhir jika  teori paradigma telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi yang diharapkan[13].
Dari padangan thomas khun dengan ada sebuah anomali dalam sains yaitu penumpakan masalah tak terpecahkan  maka terjadi sebuah penemuan-penemuan baru yang merupakan dalam rangkaian sebuah peristiwa atau yang di sebut episode-episode dalam peristiwa. Tidak sesuai dengan sains normal sehingga menimbulkan sebuah penemuan-penemuan, hal tersebut akan berakhir bilamana paradigma telah disesuaikan, namun sebelum hal itu disesuaikan maka akan terjadi sebuah krisis.

3.    Krisis
Dalam sebuah perubahan  melibatkan penemuan-penemuan semuanya destruktif atau sekaligus konstruktif. Setelah penemuan itu diasimilasikan  penemuan bisa laporkan gejala gejala alam yang lebih luas atau dengan presisi yang baik, melaporkan beberapa dari gejala alam yang sudah diketahui sebelumnya. Akan tetapi, prestasi hanya dapat dicapai dengan membuang beberapa kepercayaan atau sebuah prosedur standar sebelumnya yang sekaligus akan mengganti komponen komponen paradigma sebelumnya dengan yang lain. Thomas Kuhn telah membuktikan perubahan ini berkaitan dengan semua penemuan yang diperoleh melalui sains yang normal selain hanya penemuan tidak mengejutkan, namun, penemuan  bukan satu-satunya sumber paradigma destruktif konstruktif ini berubah, karena ada sumber mengenai peciptaan teori baru[14]. Menurut Thomas Kuhn jika ada kesadaran akan anomali memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam merupakan prasyarat bagi semua perubahan teori dapat diterima, dalam hal ini kenyataan sejarah tidak meragukan[15].
Para filsof sains telah berulang-ulang mendemonstrasikan terhadap sekelompok data tersebut selalu dapat diberikan lebih dari satu konstruksi teoritis. Sejarah sains menunjukkan bahwa, terutama pada tahap awal  perkembangan suatu paradigma baru bahkan tidak begitu sulit untuk menciptakan alternatif.  Akan tetapi, penciptaan seperti itu  jarang di lakukan  oleh para ilmuan kecuali pada tahap prapradigma dari perkembangan sains dan peristiwa peristiwa yang sangat khusus selama informasi selanjutnya evolusi selanjutnya. Selama alat-alat yang disediakan oleh paradigma masih tetap mampu memecahkan masalah-masalah yang ditetapkannya.  Sains manu  paling cepat dan menembus paling dalam melalui penggunaan alat-alat itu disertai keyakinan. Alasannya jelas papada sains tidak berbeda dengan didalam pabrik, pembaharuan alat  merupakan pemborosan yang harus dicadangkan bagi saat-saat yang benar-benar  memerlukan. Pentingnya kritik ialah karena petunjuk ini diberikan bahwa untuk pembaruan alat sudah tiba[16].
 Tanggapan Thomas Kuhn mengenai krisis, beliau mengungkap bahwa krisis merupakan prakondisi yang perlu dan penting bagi munculnya teori-teori baru  baru. Beliau mengemukakan bilamana ilmuwan di hadapkan hadir sebuah krisis, pertama-tama memperhatikan apa yang tidak pernah dilakukannya oleh para ilmuan yang dihadapkan kepada anomali anomali yang berkepanjangan dan parah  sekalipun.  Meskipun mereka mungkin mulai kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan  allternatif-alternatif lain. Mereka tidak meninggal paradigma membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus  pengganti meskipun dalam pembendeharaan kata filsafat sains (ilmu)  demikian adanya. Namun adapula penolakan paradigma oleh ilmuwan bilamana status paradigma menjadi tidak shahih  jika tersedia calon alternatif untuk menggantikannya. Namun, sama sekali tidak ada proses telah disingkapkan oleh studi historis  tentang perkembangan sains yang mirip stereotipe pemalsuan yang metodologis dengan pembandingan langsung dengan alam. Ungkapan itu tidak perlu bahwa berarti ilmuwan  tidak menolak teori teori sains,  akan tetapi yang berarti apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula diterima selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan keputusan untuk menerima yang lain dan pertimbangan mengakibatkan putusan melibatkan perbandingan paradigma paradigma dengan alam maupun satu sama lain[17].
Kemudian ada alasan kedua untuk meragukan bahwa para ilmuan menolak paradigma karena dihadapkan kepada anomali-anomali atau penggantinya, dalam hal ini Thomas Kuhn beragumen  bahwa alasan alasan bagi keraguan yang di gambarkan merupakan di gambarkan diatas secara faktual  artinya alasan-alasan itu sendiri menggantikan teori epistemologi yang berlaku, jika pandangan Thomas Kuhn sekarang ini benar, alasan-alasan paling jauh hanya dapat menciptakan krisis atau yang lebih akurat, memperkuat krisis yang benar-benar sudah ada. Alasan alasan itu sendiri tidak akan memalsukan  teori filsafat itu, sebab para pembelanya akan melakukan apa yang telah mereka lihat dilakukan ilmuwan jika dihadapkan kepada anomali. Mereka akan menciptakan banyak artikulasi dan modifikasi-modifikasi sementara dan teori mereka untuk menghilangkan setiap konflik yang tampak. Diantara modifikasi modifikasi dan kualifikasi kualifikasi relevan sebenarnya banyak yang telah ada dalam kepustakaan.  Jika karena penganti-penganti epistemologi itu terdiri atas lebih dari satu gangguan kecil, hal ini terjadi karena mereka membantu membiarkan munculnya analisis sains yang baru dan berbeda di dalamnya  mereka tidak lagi merupakan sumber kesulitan.  Lebih dari jika suatu pola yang khas,  yang nanti dapat di amati pada segmen revolusi sains apat diterapkan sini,  maka anomali-anomali tidak akan tampak lagi sebagai kenyataan, jadi dalam satu teori pengetahuan sain yang baru, mereka bisa jadi tampak sangat mirip dengan  tautologi-tautologi[18].  
Dalam hal ini Thomas Kuhn mengemukakan contoh  bahwa hukum newton yang kedua tentang gerak, meskipun dalam pencapaiannya  diperlukan riset faktual dan teoritis yang sulit selama berabad-abad, bagi mereka yang terikat teori newton berperilaku sangat mirip pertanyaan yang semata-mata berdasarkan logika, yang tidak di sangkal oleh pengamatan sebanyak apapun. Kemudian teori hukum kimia tentang proporsi yang tetap, yang sebelum Dalton merupakan temuan eksperimental sambil lalu di generalitasnya sangat meragukan, setelah karya Dalton menjadi sebuah tambahan dari definisi tentang senyawa kimia yang tidak dapat di tumbangkan hanya oleh karya ekspremental. Sesuatu yang sangat mirip dengan hal itu akan terjadi juga pada generalisasi bahwa para ilmuan tidak dapat menolak paradigma bila di hadapakan kepada anomali atau pengganti. Mereke tidak dapat demikian, dan mereka tetap ilmuan. Meskipun sejarah rupanya tidak akan mereka nama-nama mereka, tak diragukan bahwa beberapa orang telah terdorong untuk meninggalkan sain karena mereka tidak mampu menoleransi krisis. Seperti artis,  ilmuwan yang kreatif harus dapat sekali-sekali hidup di dunia yang tidak harmonis. Thomas Kuhn melukiskan hal tersebut dengan “ketegangan yang ensensial” yang tercakup dalam dalam riset ilmiah. Akan tetapi , penolakan sains untuk di ganti dengan pekerjaan lain, merupakan satu-satunya jenis penolakan  paradigma yang diakibatkan oleh pengganti. Bila paradigma pertama di gunakan untuk memandang alam telah ditemukan, tidak ada yang dinamakan riset tanpa adanya paradigma sama sekali. Menolak paradigma  tanpa sekaligus menggantinya dengan yang lain adalam menolak sains itu sendiri. Tindakan itu tidak tercermin pada paradigma , pada orang itu, tak dapat di hidarkan ia akan di lihat oleh rekan-rekannya sebagai “ tukang kayu yang menyalahkan perkakasnya[19]” .

Pada  masa krisis menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Namun jika ditemukan sebuah pemecahan yang lebih memuaskan oleh para ilmuan, artinya suatu komunitas ilmiah yang dapat menyelesaikan keadaan krisisnya dengan menyusun diri di sekeliling suatu paradigma baru, maka terjadilah apa yang disebut oleh kuhn sebagai “revolusi sains”

4.    Revolusi sains
Thomas Kuhn mengungkap bahwa revolusi sains dianggap sebagai episode-episode  perkembangan non  kumulatif yang didalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma yang baru bertentangan. Thomas Kuhn mengemukakan bahwa hal mendasar Paradigma baru di sebut dengan revolusi sains, dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang luas dan esensial di antara perkembangan politik dengan perkembangan sains, satu aspek dari kejajaran itu harus sudah nyata. Revolusi politik dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering terbatas pada suatu segmen dari masyarakat politik, bahwa lembaga-lembaga yang ada tidak dapat lagi memadai untuk menghadapi masalah-masalah yang dikemukakan oleh lingkungan yang sebagian diciptakan oleh lembaga-lembaga itu. Dengan cara yang banyak kesamaannya , revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh , yang lagi-lagi terbatas pada sub divisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam ekpolarasi suatu itu. Baik dalam perkembangan politik maupun dalam perkembangan sains, kesadaran akan adanya malafungsi yang dapat menyebabkan krisis merupakan pra syarat bagi revolusi[20].
Thomas Kuhn memandang bahwa revolusi sebagai perubahan pandangan atas dunia, beliau menyatakan dengan paradigma-paradigma berubah, maka sendiri berubah bersamanya, dengan bimbingan paradigma yang baru, para ilmuan menggunakan isntrumen-intrumen yang baru dan menengeuk tempat-tempat baru. Yang lebih penting lagi, selama revolusi para ilmuawan melihat hal-hal baru ddan berbeda ketika menggunakan intrumen-intrumen yang sangat dikenalnya untuk menengok tempat-tempat pernah di lihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba di pindahkan ke planet lain dimana objek-objek yang sangat dikenal tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan objek-objek yang tidak dikenal. Tentu saja hal in tidak terjadi, tidak ada transplantasi geografis di luar laboratium, peristiwa sehari-hari biasa berlanjut seperti sedia kala. Meskipun demikian, perubahan-perubahan paradigma itu memang menyebabkan para ilmuwan berbeda memandang dunia kegiatan risetnya. Protife-protife transfrormasi dunia ilmuwan yang elementer seperti inilah yang menyebabkan demontrasi-demontrasi, apa yang di katakan itik  dalam dunia sebelum revolusi, setelah revolusi adalah kelinci[21].

Dari paparan diatas bahwa Thomas Kuhn menyatakan bahwa revolusi sains merupakan suatu episode yang nonkumulatif, yaitu episode yang tidak ada bersangkut dengan paradigma baru dengan paradigma lama. Revolusi sains terwujud karena ketidakberdayaan dan ketidakmampuan ilmuwan dalam menggunakan paradigma sehingga terbentuk sebuah kesadaran mengwujudkan paradigma baru, Thomas Kuhn juga menyatakan revolusi sebagai perubahan pada pandangan dunia, dengan adanya perubahan paradigma ilmuwan sehingga membuat pandangan pada dunia berubah, berubah bukan pada geografis namun perubahan pada kegiatan resit seorang ilmuwan.

BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan  
Dari uraian disampaikan maka penulis mengambil kesimpulan dari dua masalah yang di kemukan yaitu.
Ø Hierarki ilmu yaitu urutan tata jenjang ilmu atau tingkatan-tingkatan dari ilmu yang dimulai dari jenis ilmu kemudian rumpun ilmu selanjutnya cabang ilmu dan terakhir yaitu tangkai ilmu.
Ø Klasifikasi ilmu menurut Thomas Kuhn yaitu dimulai sains normal dimana para ilmuwan kurang kritis dalam memandang ilmu yang dianutinya kemudian lahir sebuah anomali, anomali merupakan ada ketidak normal karena adanya kegitan radikal-radikal oleh ilmuwan karena menemukan penemuan-penemuan, sehingga terbentuklah krisis, Pada  masa krisis menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal, kemudian berlanjut pada Revolusi sains menyatakan bahwa revolusi sains merupakan suatu episode yang nonkumulatif dan merupakan sebagai perubahan tentang dunia.



















DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar , Amtsal, filsafat Ilmu,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Pandia, Wisma . Filsafat Ilmu. Sekolah tinggi Theologi Injili Philadelphia (diktat)
Sudirman, Tjun,  Peran Paradigma dalam  Revolusi Sains, Bandung:Remaja Rosdakarya 2012




[1] Amtsal Bakhtiar, filsafat Ilmu,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1.
[2] Wisma Pandia. Filsafat Ilmu. Sekolah tinggi Theologi Injili Philadelphia hal 46

 

[3] Ibid. h. 43.

[4] Thomas S. Kuhn, The Structure Of  Siencitific Revolutions, di terjemahkan oleh Tjun Sudirman, dengan Judul: Peran Paradigma dalam  Revolusi Sains, (Bandung:Remaja Rosdakarya, h. 10.
[5] Ibid, h. 11.
[6] Ibid, h. 22.
[7] Ibid, h. 22-23
[8] Ibid
[9] Ibid, h. 23-24
[10] Ibid, h. 35.
[11] Ibid, h. 52 .
[12] Ibid,
[13] Ibid, h. 53.
[14] Ibid, hal 66.
[15] Ibid, hal 67.
[16] Ibid, hal 75.
[17] Ibid, h.  77.
[18] Ibid, h. 78.
[19] Ibid, h.  78-79.
[20] Ibid,  h. l 91.
[21] Ibid, h 133.

Posting Komentar

 
Top