disajikan Oleh: Ahmad Syarifudin S.Pd.I
di sajikan hari senin tanggal 10/11/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejauh ini kita telah melakukan suatu kegiatan yang sering kita
sebut dengan belajar, namun masih banyak orang yang menafsirkan salah tentang
makna hakikat dari belajar itu sendiri. Oleh karena itu, adalah penting sekali
bagi setiap siswa, guru atau siapapun memahami sebaik-baiknya tentang hakikat
belajar.
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata
mengumpulkan atau menghafal fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi
atau materi pelajaran. Di samping itu, ada pula sebagian orang yang memandang
belajar sebagai latihan belaka seperti yang tampak pada latihan membaca dan
menulis.
Masalah belajar yang dapat dikatakan sebagai tindak pelaksanaan
usaha pendidikan, adalah masalah setiap orang. Tiap orang boleh dikatakan
selalu belajar, karena kenyataan bahwa belajar adalah masalah setiap orang maka
jelaslah kiranya perlu dan penting menjelaskan masalah belajar itu.
Manusia yang ingin mempertahankan hidupnya, ia harus tumbuh.
Pertanyaannya, bagaimanakah usaha kita agar kita senantiasa tumbuh dan
berkembang? Jawabannya yaitu kita mesti belajar. Apakah belajar itu dan
bagaimana prosesnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering terlontar
berhubung masih kurangnya pemahaman seseorang tentang arti belajar.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang
sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat
bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di
sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.
Sesuai
dengan problematika di atas, tulisan ini ingin mencoba mengurai
perihal hakikat belajar perspektif psikologi dan Islam.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang mengenai hakikat belajar, penulis merumuskan beberapa masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
hakikat belajar menurut tinjauan Psikologi?
2.
Bagaimana
hakikat belajar menurut tinjauan Islam?
C.
Tujuan Pembahasan
Dalam makalah
ini penulis memiliki tujuan pembahasan sebagaimana berikut :
1.
Hakikat
belajar menurut tinjauan Psikologi.
2.
Hakikat
belajar menurut tinjauan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Belajar Menurut Tinjauan Psikologi
Sebelum membahas mengenai apa hakikat belajar, terlebih dahulu akan
diuraikan mengenai makna hakikat itu sendiri.
Secara sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang
mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan
dan berbagai makna yang sepadan dengan pengertian tersebut. Akan tetapi,
tidaklah cukup apabila hanya mengacu kepada pengertian yang sederhana seperti
demikian. Oleh karenanya, penting sekiranya dilakukan kajian mendalam agar
pemahaman mengenai hakikat dapat dimengerti secara luas. Namun, dalam uraian
ini tidak akan diberikan penjelasan yang mendalam mengenai pengertian hakikat,
karena dalam memahami hakikat juga banyak pembahasan didalamnya.
Hakikat merupakan syarat eksistensi. Lebih luas lagi beliau
menguraikan bahwa hakikat tidak lain adalah SESUATU yang mesti ada
pada sesuatu yang jikalau SESUATU itu tidak ada
maka sesuatu itu pun tidak wujud. Sesuatu yang digaris bawahi
adalah simbol-simbol bereksistensi tapi eksistensinya ditentukan dalam sesuatu
yang huruf besar. Sesuatu yang ditulis huruf besar itulah syarat yang
menentukan adanya sesuatu yang digaris bawahi.[1]
Dari uraian tentang makna hakikat diatas cukuplah mewakili
pengertian hakikat secara sederhananya. Jadi, dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hakikat merupakan makna sebenarnya dari segala sesuatu yang menjadi dasar
keberadaan sesuatu.
Belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang teradi pada
diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun
kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya,
perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.[2]
Belajar meliputi tidak hanya mata pelajaran, tetapi juga
penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyusunan sosial,
bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita.
Belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi
dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan
masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.
Tidak semua perubahan perilaku berarti belajar. Orang yang
tangannya patah karena kecelakaan mengubah tingkah lakunya, tetapi kehilangan
tangan itu sendiri bukanlah belajar. Mungkin orang itu melakukan perbuatan
belajar untuk mengimbangi tangannya yang hilang itu dengan mempelajari
keterampilan-keterampilan baru.
Perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari
nilai-nilai sosial. Seorang penjahat mungkin sekali menjadi seseorang yang
sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah berarti
perbaikan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di atas,
Hilgard dan Brower mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam perbuatan
melalui aktifitas, praktek, dan pengalaman.[3]
Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang
yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih baik atau pun yang kurang
baik, direncanakan atau tidak. Hal lain yang juga selalu terkait dalam belajar
adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau
lingkungannya.
Unsur perubahan dan pengalaman hampir selalu ditekankan dalam
rumusan atau definisi tentang belajar, yang dikemukakan para ahli. Menurut
Witherington (1952 h. 165) yang dikutip oleh Nana Syaodih “belajar merupakan
perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons
yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan
kecakapan”. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Crow and Crow dan
Hilgard. Menurut Crow and Crow (1958 h. 225) “belajar adalah diperolehnya
kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”, sedang menurut Hilgard (1962
h. 252) “belajar adalah suatu proses di mana suatu perilaku muncul atau berubah
karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”.[4]
Pada hakikatnya belajar merupakan proses kognitif yang mendapat
dukungan dari fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor dalam hal ini
meliputi: mendengar, melihat, mengucapkan. Apapun jenis dan manifestasi belajar
yang dilakukan siswa, hampir dapat dipastikan selalu melibatkan fungsi ranah
akalnya yang intensitas penggunaannya tentu berbeda antara satu peristiwa
belajar dengan peristiwa belajar lainnya.[5]
Pada umumnya para ahli psikologi belajar khususnya mereka yang
tergolong cognitivist (ahli sains kognitif) sepakat bahwa hubungan
antara belajar, memori, dan pengetahuan itu sangat erat dan tidak mungkin
dipisahkan. Memori yang biasanya kita artikan sebagai ingatan itu sesungguhnya
adalah fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan ia merupakan storage
system, yakni sistem penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat
di dalam otak manusia.
Menurut Bruno (1987), memori ialah proses mental yang meliputi
pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan yang
semuannya terpusat dalam otak. Bagaimana hubungannya dengan belajar, dapat anda
ketahui dari contoh berikut.
Apabila siswa
anda menerima pelajaran tentang Allah, maka mula-mula informasi tentang Tuhan
semesta alam ini akan masuk ke dalam short term memory atau working
memory/ memori jangka pendek melalui indera mata (dengan cara melihat simbol/tulisan
nama Allah). Kemudian, informasi mengenai Tuhan itu diberi kode misalnya dalam
bentuk simbol-simbol A-L-L-A-H. Setelah selesai proses pengkodean (encoding),
informasi itu masuk dan tersimpan di dalam long term memory atau permanent
memory yakni memori jangka panjang atau permanen. Suatu saat kelak, apabila
siswa anda tadi memerlukan informasi mengenai Tuhan yang wajib disembah itu,
misalnya untuk menjawab pertanyaan adna, maka memorinya akan kembali bekerja
atau berproses mencari respons dari kumpulan item-item informasi dan
pengetahuan yang terdapat dalam salah satu skema yang relevan. Skema
(skema kognitif) adalah semacam file yang berisi informasi dan
pengetahuan sejenis seperti linguistic schema untuk memahami kalimat; cultural
schema untuk menafsirkan mitos dan kepercayaan adat; dan seterusnya.
Skema-skema ini berada dalam sebuah kumpulan yang disebut schemata atau schemas
(jamak dari schema) yang tersimpan dalam subsistem akal permanen
manusia. Jadi, kalau kita analogikan dengan komputer, schemata itu
kurang lebih ibarat folder atau directory yang berisi file-file
yang masing-masing memiliki tipe, nama, dan kandungan yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Kalau kita memerlukan informasi mengenai sesuatu, kita cari
nama file yang relevan dari direktori/ folder, lalu kita klik
untuk membuka file atau memunculkan file yang berisi informasi
tadi pada layar monitor.
Proses pencarian respons yang dilakukan siswa amda untuk memperoleh
jawaban mengenai siapa Tuhan Yang Maha Esa tadi, jika sukses, maka ia akan
berkata, “Allah”. Inilah peritiwa kognitif yang disebut recall atau retrieval,
yakni hal memperoleh kembali informasi/pengetahuan yang terstruktur dalam
sistem schemata (skema-skema) yang terdapat dalam ranah cipta siswa
anda.[6]
B.
Hakikat Belajar Menurut Tinjauan Islam
Agaknya tidak ada satu pun agama, termasuk Islam, yang menjelaskan
secara rinci dan operasional mengenai proses belajar, proses kerja sistem
memori (akal), dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan oleh manusia.
Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif
(akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk
belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qulun, yatafakkarun,
yubshirun, yasma’un, dan sebagainya yang terdapat dalam
Al-Qur’an, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan
karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.[7]
Berikut ini kutipan firman-firman Allah, baik yang secara eksplisit
maupun implisit mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu
pengetahuan. Allah berfirman:
ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
(Q.S. Al-Zumar: 9)
Dalam ayat ini Allah berusaha menekankan perbedaan orang yang
berilmu dengan yang tidak berilmu. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan orang
yang berilmu itu berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu
itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Dan hanya orang-orang yang mempunyai
akallah yang bisa menerima pelajaran. Jadi orang yang tidak berakal susah untuk
bisa menerima pelajaran yang diajarkan.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al-Isra: 36)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kita sebagai umat manusia
janganlah membiasakan diri untuk tidak mengetahui, dalam hal ini jangan sampai
kita terbiasa tidak tahu pada hal-hal yang seharusnya kita bisa mencari
tahunya, sehingga kita tahu. Tentu saja caranya yaitu dengan belajar.
Tuhan memberikan potensi kepada manusia yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kemaslahatan umat manusia itu sendiri. Potensi-potensi tersebut terdapat dalam
organ-organ fisio-psikis manusia yang berfunsi sebagai alat-alat penting untuk
melakukan kegiatan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.
Indera
penglihat (mata), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi
visual.
b.
Indera
pendengar (telinga), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi
verbal.
c.
Akal,
yakni potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks untuk
menyerap, mengolah, menyimpan, dan memproduksi kembali item-item informasi dan
pengetahuan (ranah kognitif).[8]
Alat-alat yang bersifat fisio-psikis itu dalam hubungannya dengan
kegiatan belajar merupakan subsistem-subsstem yang satu sama lain berhubungan
secara fungsional. Allah berfirman:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur” (Q.S.
Al-Nahl:78).
Demikian pentingnya daya nalar akal dalam perspektif ajaran Islam,
terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni neraka karena keengganan
dalam menggunakan akal mereka untuk memikirkan peringatan Tuhan. Allah
berfirman:
(#qä9$s%ur öqs9 $¨Zä. ßìyJó¡nS ÷rr& ã@É)÷ètR $tB $¨Zä. þÎû É=»ptõ¾r& ÎÏè¡¡9$# ÇÊÉÈ
“Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala"
(Q.S. Al-Mulk: 10).[9]
Sehubungan dengan hal itu, perlu diketahui bahwa hati dalam
perspektif disiplin ilmu apa pun tidak memiliki fungsi mental seperti otak,
oleh karenanya, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral yang
terkandung dalam materi bidang studi apapun, seyogianya ditanamkan
sebaik-baiknya ke dalam sistem memori para siswa, bukan ke dalam hati mereka.[10]
Orang yang memiliki ilmu sangat tinggi kedudukannya disisi Allah
swt., sebagaimana firman Allah:
Æìsùöt.......... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4
“...........Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Oleh karena itu lah Islam sangat menganjurkan belajar, karena dengan
belajar kita bisa memiliki ilmu yang bermanfaat, dengan ilmu seseorang akan
merasa aman. Khalifah keempat Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:
الْعِلْمُ خَيْرٌ
مِنَ الْمَالِ. الْعِلْمُ يَحْرُسُكَ, وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ.
Sebagai seorang penuntut ilmu, sangat dianjurkan untuk pergi
meninggalkan kampung halaman jika di tempatnya tidak menemukan guru untuk dia
belajar. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ruslan dalam Syairnya:
مَنْ لَمْ يَكُنْ
يَعْلَمُ ذَا فَلْيَسْـأَلِ # مَنْ لَمْ يَجِدْ مُعَلِّمًا فَلْيَرْحَلِ
“Barang siapa yang tidak mengetahui tentang
sesuatu maka sebaiknya bertanya # Barang siapa yang tidak menemukan guru maka
sebaiknya bepergian”
Muhammad Al-Ahdal menjelaskan di dalam bukunya bahwasanya maksud
“bepergian” diatas adalah “untuk belajar”.[12]
Ilmu tidak bisa didapatkan dengan santai dan hanya menunggu di
rumah, kita harus keluar mencari dan menuntut sehingga kita mendapatkan ilmu
yang kita inginkan.
عَبْدُ
اللهِ بنُ يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أبِى يَقُوْلُ لَا
يُسْتَطَاعُ اْلعِلْمُ بِرَاحَةِ اْلجِسْمِ
Abdullah bin Yahya bin Abu Katsir, dia berkata; aku mendengar ayah
ku berkata; “Ilmu itu tidak bisa diraih dengan mengistirahatkan badan
(ogah-ogahan)”.[13]
Imam Syafi’i berkata dalam syairnya yang dikutip oleh Ali Baharun
dalam bukunya:
مَنْ
لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً # تَجَرَّعْ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ
حَيَاتِهِ
وَمَنْ
فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ # فَكَبِّرْ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
“Siapa yang tidak merasakan pahitnya menuntut
ilmu meskipun sekejap mata,
Niscaya dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya,
Dan barangsiapa yang ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka ucapkanlah takbir empat kali karena kematiannya”.[14]
Niscaya dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya,
Dan barangsiapa yang ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka ucapkanlah takbir empat kali karena kematiannya”.[14]
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Bahwa pada hakikatnya belajar adalah proses penguasaan sesuatu yang
dipelajari. Penguasaan itu dapat berupa memahami (mengerti), merasakan, dan
dapat melakukan sesuatu.
Mengenai belajar dalam perpektif Islam, dalam Al-Quran disebutkan ada beberapa
ayat yang menyebutkan dan menjelaskan mengenai keutamaan belajar dan perbedaan
orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Ada juga perkataan yang
memerintahkan kita sebagai umat manusia untuk senantiasa belajar, karena tidak
ada ilmu pengetahuan yang bisa kita dapatkan kecuali dengan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul latief,
Juraid, 2006, Manusia, Filsafat, dan Sejarah, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Al-Ahdal,
Muhammad, 2006, Ifadah Al-Sadah Al-Umad, Lebanon: Dar Al-Minhaj.
Al-Haddad,
Abdullah, 2008, Al-Nashaih Al-diniyyah, Dar Al-hawi.
Baharun, Ali,
2012, Al-Fawaid Al-Mukhtarah, Bangil: PP. Dalwa.
Bin Hajjaj,
Muslim, 2008, Shahih Muslim, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Djamarah,
Syaiful Bahri dan Zain, Aswan, 1996, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar,
2002, Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Syah, Muhibbin,
2006, Psikologi Belajar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
_____________,
2010, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Syaodih
Sukmadinata, Nana, 2009, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Juraid Abdul
latief, Manusia, Filsafat, dan Sejarah, (Jakarta, PT. Bumi Aksara:
2006), h. 14
[2] Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta, PT. Rineka
Cipta: 1996), h. 44
[3] Oemar Hamalik,
Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung, Sinar Baru Algensindo: 2002),
h. 45
[4] Nana Syaodih
Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya: 2009), h. 156
[5] Muhibbin Syah,
Psikologi Belajar, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2006), h. 71
[6] Ibid,
h. 73
[7] Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung,
PT. Remaja Rosdakarya: 2010), h. 98-99
[8] Ibid,
h. 99
[9] Muhibbin Syah,
Op. Cit, h. 88
[10] Ibid,
h. 90
[11]
Abdullah
Al-Haddad, Al-Nashaih Al-diniyyah, (Dar Al-hawi: 2008), h. 99-100
[12] Muhammad
Al-Ahdal, Ifadah Al-Sadah Al-Umad, (Lebanon, Dar Al-Minhaj: 2006), h.
102
[13] Muslim Bin
Hajjaj, Shahih Muslim, (Lebanon, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 2008), h. 347
[14] Ali Baharun, Al-Fawaid
Al-Mukhtarah, (Bangil, PP. Dalwa: 2012), h. 22
Posting Komentar